Energia Kalimantan
Energia Kalimantan

UNJUK GIGI| Jejak Langkah Perwira di Atap Nusantara dan Dunia

  September 18, 2022
UNJUK GIGI| Jejak Langkah Perwira di Atap Nusantara dan Dunia

  September 18, 2022

Mendaki gunung merupakan hobi yang menyehatkan juga menyenangkan untuk melepaskan penat sekaligus menyegarkan pikiran. Diantara Perwira PHI – Regional 3 Kalimantan, ada Andi Syarief (Relations – Regional 3) yang akrab disapa Kang Bedjo, M.S. Wahyudi (Mooring Master – Zona 10), Fardy Ichsan (Icang) (SCM & Asset Management – Zona 9), dan Pujo Rahmanto (Geoscientist Planning & Operation - Regional 3) yang memiliki hobi mendaki gunung. Dengan penuh antusias, mereka menceritakan pengalaman mereka kepada Energia Kalimantan saat menjejakkan kaki di atap-atap nusantara maupun dunia.

 


 

Mendaki untuk lebih mengenal potensi dan batasan diri

 

Bagi masyarakat luas, kegiatan mendaki gunung dikenal sebagai cara untuk menikmati pemandangan alam dari ketinggian saja. Namun, bagi para pendaki yang telah beberapa kali menaklukan puncak gunung, justru tidak demikian. Mendaki gunung merupakan salah satu cara mereka untuk lebih mengenal potensi dan juga batasan diri mereka sendiri.

 

Para narasumber Unjuk Gigi kali ini sepakat bahwa mereka mampu mengenal diri mereka sendiri ketika malakoni kegiatan pendakian. Bagi Kang Bedjo yang sudah menjelajah puluhan gunung api di Indonesia mengaku bahwa ia lebih banyak mengenal siapa dirinya ketika mendaki. Sepakat dengan hal tersebut, Icang mengungkapkan hal yang sama. Baginya, mendaki gunung itu seperti terus belajar mengetahui kelebihan dan juga batasan yang dimilikinya. Kegiatan mendaki gunung juga dapat dimaknai sebagai salah satu cara kita mensyukuri ciptaan Tuhan.

 

Pramuka sebagai awal mula mencintai hobi mendaki gunung

 

Sebuah hobi biasanya terbentuk dari kebiasaan yang disukai dan dilakukan secara berulang. Pun demikian dengan hobi yang digeluti oleh para Perwira PHI - Regional 3 Kalimantan ini. Kang Bedjo, Wahyudi, dan Pujo mengakui bahwa awal mula mereka jatuh hati dengan hobi mendaki gunung adalah karena kegiatan Pramuka saat mereka remaja. Dunia Kepramukaan memang kerap melakukan kegiatan seperti berkemah, mencari jejak di alam terbuka, maupun kegiatan luar ruang lainnya.

 

Seiring bertambahnya usia, masing-masing mengikuti organisasi kepemudaan yang terkait dengan pecinta alam. Kang Bedjo bergabung dengan beberapa organisasi dan sukarelawan Pecinta Alam maupun SAR pendakian. Wahyudi memilih mengikuti organisasi Outdoor Adventure and Nature Club (OANC). Icang aktif di organisasi Wanadri (Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung) dan Patrapala (Grup pendaki gunung milik Pertamina). Pujo menjatuhkan pilihan pada organisasi Aranyacala Trisakti dan Tomahawk. Organisasi-organisasi tersebut menjadi tempat mereka menambah ilmu, menempa diri, berlatih sekaligus mempraktikannya langsung di alam terbuka. Hingga kini, para Perwira ini masih aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi pilihan mereka.

 

 

Mendaki bukan sekedar menggapai puncak

 

Puncak seringkali dijadikan tujuan utama ketika seseorang mendaki sebuah gunung. Padahal mindset penting yang harus dimiliki oleh seorang pendaki adalah bagaimana caranya mereka tetap sehat dan selamat, baik saat naik maupun turun dari puncak.

 

Wahyudi menyampaikan, kebanyakan pendaki terjebak dalam ego untuk hanya berpuas diri ketika menikmati keindahan di puncak. Padahal keselamatan saat turun gunung juga sangat penting. Icang menambahkan bahwa risiko kelelahan dan cedera saat menuruni bukit atau gunung lebih tinggi daripada saat mendaki. Hal ini dikarenakan saat menuruni gunung, lutut kita menanggung beban lebih tinggi, yaitu 5 kali berat badan kita.  Hal senada juga disampaikan oleh Kang Bedjo, bahwa mayoritas kasus orang celaka atau hilang, terjadi saat mereka menuruni gunung, yang disebabkan oleh kurangnya kewaspadaan atau kelelahan.

 

 

Persiapan mendaki tidak hanya soal alat

 

Semakin masyhur kegiatan pendakian gunung, membuat masyarakat khususnya kaum muda lebih mudah dalam mendapatkan berbagai kebutuhan alat pendakian. Tak jarang orang menganggap bahwa kelengkapan alat mendaki menjadi faktor utama dalam kesuksesan proses pendakian. Padahal, mempersiapkan fisik dan pengetahuan untuk menghadapi medan yang akan dilalui juga tidak kalah penting. Terlebih bagi pendaki pemula, atau pendaki yang akan muncak di sebuah gunung baru.

 

Pengetahuan tentang perjalanan menjadi penting karena kita dapat mempersiapkan strategi pendakian yang baik. Misalnya memahami berapa ketinggian, rute terbaik, dimana lokasi camp, waktu yang tepat untuk menuju ke puncak, vegetasi dominan, dsb. “Semakin baik pengetahuan kita tentang medan yang akan dilalui, semakin siap pula diri kita dalam mendaki gunung,” ungkap Pujo.

 

Faktor utama untuk memperlancar proses pendakian adalah kondisi kesehatan jasmani pendaki itu sendiri. Namun, bukan berarti orang yang memiliki keterbatasan fisik tidak mampu mewujudkan impiannya untuk mendaki sebuah gunung. Kang Bedjo bercerita bahwa ketika mendaki Rinjani, ia pernah bertemu dengan pendaki yang menderita asma cukup berat namun berhasil sampai di puncak dengan sehat. “Mendaki bukan perihal kesempurnaan fisik, tapi memahami batasan serta kemampuan diri kita. Kemampuan fisik tentunya dapat dilatih dan ditingkatkan dengan berolahraga,” ujar pria yang sering disebut “koki gunung” ini, karena hobi memasaknya ketika mendaki.

 

Wahyudi sendiri bahkan mengakui kondisi fisik kurang sehatlah yang membuat Ia memutuskan untuk kembali menekuni hobi mendaki gunung. “Sejak saya mulai bekerja tahun 1996, saya berhenti mendaki gunung. Pada tahun 2009, hasil Medical Check Up (MCU) saya kurang bagus. Jadi saya izin ke istri untuk mulai mendaki gunung lagi agar sehat,” jelasnya.

 

Beda gunung, beda cerita

 

Berbicara mengenai kisah unik atau pengalaman, narasumber rubrik Unjuk Gigi kali ini sudah tidak diragukan lagi. Masing-masing memiliki cerita tak terlupakan tersendiri saat menghabiskan waktu di gunung yang mereka daki.

 

Dimulai dari kisah Kang Bedjo yang telah menapakkan kakinya di 52 puncak gunung api. Pada kurun waktu 1988 – 1990, Kang Bedjo sudah menaklukkan hampir semua gunung api yang tersebar dari Jawa Barat hingga Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahkan, karena sudah sangat hafal dengan rute Gunung Ciremai di Jawa Barat, ia telah melakukan pendakian kesana lebih dari 50 kali. Saking seringnya Kang Bedjo muncak di Ciremai, ia memiliki seorang bapak angkat yang tinggal di sana.

 

“Sebelumnya, saya tidak pernah memiliki target untuk mendaki 52 gunung api baik di Indonesia maupun luar negeri, semua terjadi dan mengalir begitu saja.” tuturnya. Pengalaman unik lainnya yang ia alami adalah saat mendaki Gunung Kinabalu di Malaysia.

 

Selain persiapannya yang cukup sulit, peraturan pendakian di sana juga sangat berbeda dengan di Indonesia. Misalnya tidak boleh mendirikan tenda di sepanjang jalur pendakian, dan menginapnya harus di sebuah hotel yang telah disediakan pemerintah setempat di ketinggian tertentu.

 

Beralih ke cerita dari Wahyudi, Perwira yang juga memiliki pengalaman mendaki gunung di Indonesia maupun di luar negeri. Saat SMP, ia melakukan pendakian pertama di Gunung Salak Jawa Barat bersama dengan teman-temannya. Aktivitas outdoor lainnya juga ia geluti pada usia remajanya hingga saat Wahyudi mulai bekerja pada tahun 1996, ia pun terpaksa berhenti melakukan hobi ini karena kesibukannya.

 

Sejak memutuskan untuk mulai kembali aktif naik gunung pada tahun 2009, Wahyudi selalu membuat target gunung apa saja yang akan ia daki. Tidak hanya puncak-puncak tertinggi di Indonesia saja, namun ia memiliki cita-cita untuk dapat menjejakkan kaki di puncak-puncak tertinggi dunia. Kendati demikian Wahyudi mengaku pernah memiliki pengalaman buruk saat mendaki, yaitu dikerumuni oleh banyak lintah di Gunung Tambora. Menurutnya, lintah merupakan hewan yang sudah pasti akan kita temui saat mendaki gunung, terlebih jika sedang musim hujan. Namun, lintah ini merupakan salah satu jenis hewan yang tidak disukainya.

 

Bagi Wahyudi, kesuksesan mendaki gunung tidak hanya ada pada persiapan matang saja, tapi juga bagaimana izin Tuhan. Apakah Tuhan mengizinkan kita untuk selamat naik hingga turun, atau sebaliknya. Wahyudi merupakan pendaki yang lebih senang jika mendaki bersama sekelompok kecil orang. Bahkan ia memiliki sahabat yang paling sering mendaki bersamanya. Namun, kisah pilu harus dialaminya saat sahabatnya meninggal karena terkena hipotermia di atas gunung. “Kehilangan seorang sahabat mendaki pastinya sangat menyedihkan bagi saya. Seperti yang tadi saya sampaikan, bahwa mendaki gunung juga tentang bagaimana takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Padahal persiapan dan pengalaman sahabat saya tidak perlu diragukan lagi,” ungkapnya sembari mengenang sahabatnya.

 

Everest Basecamp di ketinggian kurang lebih 6.000 meter menjadi kenangan terakhir Wahyudi mendaki bersama sahabatnya itu. Hingga kini, Wahyudi terus membuat target gunung-gunung selanjutnya yang akan ia daki.

 

Saat ini, ia sedang mempersiapkan kendaraan untuk overland dari Jakarta ke Jerman. Dimana ia dan istrinya akan melakukan perjalanan ke beberapa negara dan melakukan pendakian ke gunung-gunung yang mereka lewati sepanjang perjalanan yang memakan waktu 6-8 bulan tersebut. Wow!

 

Bercerita mengenai target, Icang teringat saat awal ia bergabung dengan organisasi Wanadri. Pada saat masa pendidikan, ia ditargetkan untuk melakukan ekspedisi membuka jalur pendakian baru di Gunung Butak, kawasan Gunung Ijen Jawa Timur. Peserta didik dilarang untuk melalui jalur pendakian normal yang biasa digunakan oleh masyarakat. Icang menjelaskan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk melatih pengaplikasian materi hidup di alam bebas yang telah diajarkan oleh Wanadri sebelumnya. “Saat melakukan ekspedisi ini, seluruh panca indra kita benar-benar diuji. Selain itu, materi pendidikan hidup di alam terbuka yang sebelumnya diajarkan, juga harus kami terapkan dengan baik.” terang Icang. Dalam waktu sehari, Icang mengaku hanya bisa membuka atau menemukan jalur baru maksimal 1-2 km.    

 

Pengalaman unik tak terlupakan lainnya bagi Icang adalah ketika ia melakukan ujian akhir Wanadri yaitu ekspedisi besar selama 1 bulan di Ilas Merah, Kalimantan Timur. Tepat setelah selesai melakukan ekspedisi tersebut, ia harus segera bergegas kembali ke Jakarta untuk mengikuti tes masuk di Pertamina yang membawanya kini bekerja di lokasi tak jauh dari tempat dulu ia melakukan ekspedisi besar. Wah pasti deg-degan dan butuh ketahanan fisik yang luar biasa ya, Perwira.

 

Mendaki gunung melalui jalur baru atau tidak ramai dilalui oleh orang adalah kegemaran dari sosok Pujo. Memiliki pengalaman awal yang sama dengan Icang, Pujo bercerita saat membuka jalur pendakian di Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat selama 1 bulan penuh saat Ia masih mahasiswa tahun 1998.
 

 

 

Ekspedisi Gandang Dewata menjadi berkesan bagi Pujo, karena saat itu kawasan gunung ini masih sangat jarang didaki oleh masyarakat umum. Kegemaran Pujo dalam membuka jalur atau menapaki jalur yang sepi ini, ia dapatkan ketika mengikuti beragam pendidikan atau kursus seputar kegiatan alam bebas. Berkat banyak pembelajaran tersebut, ia dapat memitigasi beragam kemungkinan yang akan ia temui ketika melalui jalur tidak populer.

 

Pernah tinggal di Perancis, tentunya membuat Pujo memiliki banyak pengalaman mendaki gunung-gunung di kawasan Eropa. Menurut Pujo, hal mendasar yang menjadi perbedaan antara mendaki gunung di luar negeri dengan di tanah air tampak dari manajemen pengelolaan dan tingkat kebersihan yang lebih baik.

 

Perwira yang juga gemar melakukan maraton dan trekking santai ini juga sering melakukan hobinya bersama istri maupun temannya. Pujo mengaku bahwa momen favoritnya ketika mendaki gunung adalah saling bercengkerama saat api unggun, memasak, dan pastinya menikmati keindahan alam sekitar. “Momen seperti itulah yang harus kita nikmati, jadi meskipun saya pelari marathon tapi saya tidak terlalu tertarik dengan trail running,“ sambungnya. Sebagai informasi, trail running adalah olahraga lari yang melintasi alam bebas, seperti bukit, pantai, hutan ataupun pegunungan.

 

 

 

Mendaki sendiri atau beramai-ramai?

 

Apakah mendaki gunung dapat dilakukan sendiri? Jawabannya adalah bisa. Namun, Perwira harus memastikan bahwa baik pengetahuan, pengalaman, dan juga persiapan yang dimiliki sudah cukup matang. Bagi Kang Bedjo, melakukan solo hiking sudah menjadi kegemarannya sejak lama, meskipun ia juga pernah membawa 180 orang ketika mendaki gunung dalam bentuk grup. Hal yang sama juga disampaikan oleh Pujo, melakukan pendakian seorang diri sama seperti melatih ketangkasannya dalam bidang navigasi di alam bebas. Lain halnya dengan Wahyudi, ia mengaku lebih suka mendaki bersama orang-orang terdekatnya. Demikian dengan Icang, ia mengaku lebih nyaman jika mendaki bersama beberapa orang atau grup.

 

Nah, bagi Perwira yang ingin mendalami hobi mendaki gunung, pastikan segala persiapan seperti pengetahuan, perlengkapan, dan fisik sudah cukup mumpuni yaa. Karena mendaki gunung bukan hanya soal menikmati keindahan alam saja, tetapi juga keselamatan kita selama proses perjalanan.

 

Hal terpenting lainnya adalah selalu terapkan slogan 3J: Jangan bunuh kecuali waktu; jangan ambil sesuatu kecuali gambar; dan jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak.

 

Salam lestari!

DOWNLOAD