JELAJAH | Desa Budaya Sungai Bawang: Semarak Tradisi Dayak di Pinggiran Kota
August 07, 2025
JELAJAH | Desa Budaya Sungai Bawang: Semarak Tradisi Dayak di Pinggiran Kota
August 07, 2025
Tak perlu menembus pedalaman untuk merasakan kekayaan budaya Dayak. Perwira cukup mengunjungi Desa Budaya Sungai Bawang di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara—desa binaan PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) yang menjaga warisan leluhur dalam bentuk tarian, musik, permainan tradisional, dan kuliner khas rimba. Dalam rubrik Jelajah kali ini, Perwira akan diajak bukan hanya melihat, tetapi ikut merasakan langsung denyut budaya Dayak yang hidup di tengah alam Kalimantan.
Petikan dawai sape’—alat musik petik khas Dayak—mengalun halus, berpadu dengan dentingan jatung utang, alat musik tabuh tradisional Dayak Kenyah yang menggema dari kejauhan. Suara para perempuan paruh baya bersahut-sahutan melantunkan Ngendau, sebuah kidung kuno penuh harap dan rindu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Harmoni ini menjadi penyambutan hangat bagi siapa pun yang melangkah masuk ke Desa Budaya Sungai Bawang, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Desa ini menjadi rumah bagi lebih dari 1.600 warga Suku Dayak Kenyah, khususnya dari rumpun Lepoq Jalan. Meski letaknya tak jauh dari pusat kota, masyarakat desa tetap menjaga harmoni dengan alam dan memegang teguh nilai-nilai adat leluhur. Di sini, kehidupan mengalir dalam irama tradisi yang hidup dan terus menyala.
Di tengah harmoni kehidupan dan tradisi yang menyambut siapa pun yang datang, akses menuju Desa Budaya Sungai Bawang pun terbilang mudah. Perwira dapat berkendara sekitar 45–60 menit dari pusat Kota Samarinda (sekitar 25 km melewati Bandara APT Pranoto) atau sekitar 3 hingga 3,5 jam dari Balikpapan, tergantung kondisi lalu lintas. Karena belum tersedia transportasi umum langsung menuju desa, kendaraan pribadi atau sewaan menjadi pilihan paling praktis.
Desa ini dibuka setiap hari tanpa tiket masuk. Namun, untuk menyaksikan pertunjukan tari-tarian tradisional Dayak yang umumnya digelar saat akhir pekan atau dalam rangka upacara adat, Perwira perlu melakukan reservasi terlebih dahulu melalui pengelola desa atau Pokdarwis, dengan kontribusi biaya sebesar Rp30.000 per orang.
Selain menikmati pertunjukan budaya, Perwira juga dapat mengikuti berbagai aktivitas interaktif, seperti belajar membuat kerajinan rotan dan manik-manik, mencoba pakaian adat Dayak, mengikuti workshop menyumpit, hingga mencoba memainkan alat musik tradisional seperti sape’, jatung utang, atau gong. Jika datang bertepatan dengan perayaan adat, Perwira juga berkesempatan menyaksikan langsung prosesi ritual khas Dayak Kenyah—sebuah pengalaman budaya yang jarang ditemukan di tempat lain.
Kini, mari kita menyelami lebih dalam bagaimana tradisi dan budaya masyarakat adat Dayak dihidupkan—bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai bagian dari napas sehari-hari yang penuh warna dan makna.
Seni hidup yang tak pernah padam
Di Desa Sungai Bawang, kesenian bukan sekadar hiburan. Ia adalah napas kolektif yang menyatukan masyarakat, menjadi cermin dari identitas, filosofi hidup, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan lintas generasi. Setiap akhir pekan, Lamin—balai adat yang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat—menjadi ruang pertemuan antara warga dan wisatawan untuk menyaksikan pertunjukan budaya yang otentik dan penuh semangat.
Rangkaian pertunjukan dimulai dengan Tari Lemada Lasan, tarian penyambutan yang menggambarkan prosesi pembersihan energi negatif yang mungkin terbawa oleh tamu dari luar desa. Ditarikan oleh laki-laki maupun perempuan, penari membawa Mandau (senjata tradisional Dayak) dan kelempit atau perisai kecil, sebagai simbol perlindungan dan penyucian.
Disusul oleh Tari Nyelama Sakai, tarian penghormatan khusus bagi tamu agung. Tarian ini dibawakan oleh para dara Dayak dengan gerakan lemah gemulai dan penuh keanggunan, menggambarkan kesopanan dan keramahan masyarakat setempat dalam menyambut sahabat dari luar.
Langkah, irama, dan makna: warisan leluhur dalam gerakan
Pertunjukan di Lamin tak hanya memanjakan mata, tapi juga mengajak kita menyelami kisah dan nilai yang terpatri dalam tiap gerakannya. Sebab dalam budaya Dayak, setiap tarian adalah narasi—tentang alam, kehidupan, dan hubungan spiritual.
Tari Pita Ba’i dan Uyan Uma misalnya, menggambarkan siklus hidup masyarakat agraris Dayak. Dimulai dari pencarian lahan, pembersihan semak, penanaman padi gunung, hingga proses panen seperti mi’eq—merontokkan padi dari batangnya—dan sengkedan, sebuah alat khusus untuk menjemur dan menyimpan benih. Gerakan yang dilakukan secara kolektif ini mencerminkan semangat gotong royong yang menjadi inti dari pertanian ladang berpindah.
Sementara itu, Tari Ajai hadir dengan hentakan yang kuat dan gerakan penuh determinasi. Diiringi suara gong, tarian ini menjadi ungkapan semangat keperkasaan dan simbol kesiapsiagaan masyarakat dalam menjaga kehormatan serta kedaulatan kampung halaman.
Tak kalah bermakna adalah Tari Datun Julut, tarian lembut yang dibawakan oleh para ibu sebagai ungkapan syukur atas kembalinya para pejuang dari medan laga. Dalam geraknya, terkandung harapan akan kedamaian dan doa bagi keselamatan anak-anak mereka.
Nuansa spiritual semakin terasa dalam Hudoq Kiba, tarian bertopeng yang menjadi ritual pengusiran roh jahat. Dalam budaya Dayak, topeng dan gerakan dalam tarian ini menjadi bentuk komunikasi dengan dunia roh, sebagai bagian dari upaya penyembuhan dan pelindungan kampung dari marabahaya.
Sebagai penutup, tampil Tari Anyam Tali, sebuah ajakan universal untuk merajut persatuan. Penonton diajak memegang ujung-ujung kain warna-warni yang diikat di bawah patung burung enggang, simbol kehormatan dalam budaya Dayak—lalu menari bersama hingga terbentuk anyaman yang menggambarkan harmoni lintas suku, agama, dan budaya.
Main, tertawa, dan belajar: tradisi yang menghidupkan
Di Desa Budaya Sungai Bawang, pengalaman budaya tak berhenti di panggung. Pengunjung diajak untuk ikut merasakan langsung denyut kehidupan masyarakat melalui beragam aktivitas partisipatif yang menyenangkan sekaligus mendidik.
Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah Pangpaga, permainan tradisional khas Dayak yang menguji kelincahan dan koordinasi. Permainan ini menggunakan dua bilah kayu ulin yang diketukkan secara ritmis, membentuk pola seperti jebakan yang harus dilompati oleh pemain. Semakin cepat ketukan, semakin menantang gerak pemain. Sorak-sorai dan tawa anak-anak hingga orang dewasa menjadi latar hidup permainan ini—sederhana, tapi penuh semangat kebersamaan.
Bagi yang ingin mencoba keahlian tradisional lainnya, menyumpit bisa menjadi pengalaman menarik. Menggunakan bilah bambu panjang berisi mata panah kecil, pengunjung dapat mencoba meniupkan sumpit ke arah sasaran tertentu. Kegiatan ini, yang kini kembali digemari oleh generasi muda Dayak, membutuhkan konsentrasi dan teknik napas yang tepat. Tak perlu khawatir, anak panah yang digunakan telah disesuaikan agar aman untuk wisata edukatif. Meski demikian, pengunjung tetap diimbau untuk menjaga keselamatan dan mengikuti arahan pendamping.
Kegiatan-kegiatan ini menjadi bagian penting dari upaya pelestarian budaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat—dan turut diperkuat melalui dukungan program pemberdayaan dari PHM. Sebagai salah satu desa budaya binaan PHM, Sungai Bawang menjadi contoh nyata bagaimana nilai tradisi, pelibatan komunitas, dan pengembangan pariwisata bisa berjalan selaras.
Dari anyaman hingga sajian rimba
Kekayaan budaya Dayak tidak hanya terlihat dalam kesenian dan permainan, tetapi juga dalam keterampilan tangan dan citarasa kuliner yang diwariskan turun-temurun. Di sekitar Lamin, pengunjung bisa menemukan beragam kerajinan khas: mulai dari anjat, tas anyaman rotan yang biasa digunakan untuk menggendong anak; sa’ung, topi tradisional pelindung panas matahari; hingga perhiasan manik warna-warni, mandau hias, dan berbagai suvenir buatan tangan yang sarat makna filosofis.
Lalu, saat perut mulai lapar, datanglah ke dapur terbuka yang menyajikan kuliner khas rimba. Aromanya menggoda—perpaduan serai, jahe, kunyit, dan ubut tite’ (batang muda lengkuas hutan) yang begitu menggugah selera.
Untuk pengunjung yang menginginkan menu halal dan familiar, tersedia:
•Lemeng: ketan yang dimasak dalam ruas bambu, menghasilkan aroma hangus alami yang khas.
•Tung ubi: olahan daun ubi tumbuk yang lembut dan gurih.
•Bulit tung timun: bubur daun ketimun muda yang kaya serat dan menyegarkan.
•Burung punai: unggas hutan yang biasa dimasak goreng atau bakar, disajikan dengan sambal jaung (kecombrang), daun pakis muda, dan pucuk singkong.
Namun bagi penjelajah rasa yang ingin mencicipi keunikan budaya kuliner lokal, tersedia pula hidangan dari bahan-bahan yang secara budaya dikonsumsi masyarakat Dayak, seperti:
•Daging babi hutan yang diasap atau dibakar.
•Rica-rica ular dan olahan pedas lainnya.
•Masakan dari biawak, labi-labi (kerabang), bahkan monyet, yang dimasak dengan bumbu rempah khas Kalimantan.
Untuk melengkapi petualangan kuliner, tersedia pilihan minuman lokal seperti teh bawang tiwai yang menenangkan, sari tebu hangat, hingga tuak manis dan tuak pahit—minuman fermentasi yang biasa disajikan dalam upacara adat dan kegiatan bersama.
Jejak mitos di tengah hutan
Di balik kehidupan masyarakat yang sarat warna, Sungai Bawang juga menyimpan sisi magis yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah legenda tentang Jok Ko’oq, makhluk gaib yang dikenal suka mencuri ikan dari keramba dan berjalan mundur. Kisah ini telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, menjadi bagian dari cerita rakyat yang memperkaya imajinasi dan kepercayaan masyarakat setempat. Bagi warga, mitos bukan sekadar dongeng, tetapi bagian dari sistem nilai yang menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata.
Dalam pelukan budaya
Desa Budaya Sungai Bawang bukan hanya sebuah destinasi wisata budaya—ia adalah ruang hidup, tempat nilai dan tradisi tak sekadar dikenang, tetapi terus dijalani. Dengan dukungan dari PHM sebagai bagian dari komitmen terhadap pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal, desa ini tumbuh menjadi simpul yang menghubungkan kekayaan masa lalu dengan masa depan yang lebih lestari.
Di tengah sunyi rimba Kalimantan, semarak budaya Dayak terus menyala, mengundang siapa pun untuk datang, menyapa, dan merasakan sendiri kehangatan masyarakatnya.
Sampai jumpa di Sungai Bawang.
Selamat datang dalam pelukan budaya!