OPINI | Beyond Strategy: Mengelola Kompleksitas dengan Empati dan Ketangguhan
August 07, 2025
OPINI | Beyond Strategy: Mengelola Kompleksitas dengan Empati dan Ketangguhan
August 07, 2025
Oleh: Yoga Wicaksono
(Manager Planning & Strategy Regional 3)
Dunia bisnis saat ini telah mengalami pergeseran dari era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) menuju era BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible). Dalam konteks industri hulu migas, perubahan ini menuntut lebih dari sekadar ketajaman strategi; dibutuhkan pula Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh, adaptif, empatik, dan memiliki kepekaan terhadap konteks. Di saat yang sama, komunikasi organisasi perlu melampaui batas manajerial, agar arah dan tujuan strategis dapat dipahami dan dijalankan secara menyeluruh hingga ke seluruh lini operasional.
Semenjak era 1980an, dunia dilukiskan dengan istilah VUCA. Dalam perspektif bisnis, ketangkasan strategi dan fleksibilitas operasional menjadi penangkal utama terhadap gangguan eksternal yang cepat berubah. Pasca 2020, dikatalisatori oleh perubahan global yang sistemik. lanskap global telah bergerak memasuki era baru yakni BANI, yang lebih jauh, lebih cepat, dan lebih tidak terduga. Peralihan dari VUCA ke BANI bukanlah sekadar evolusi semantik. Ia mencerminkan mutasi struktural dalam pola disrupsi bisnis: dari sekadar perubahan cepat, menjadi ketidakpastian sistemik dan ketakpastian makna. Dalam industri hulu migas, terutama yang mengelola aset mature, realitas ini terasa sangat nyata. Harga minyak yang fluktuatif, beban investasi yang berat, tekanan stakeholder yang beragam, dan hasil produksi yang tak selalu linier dengan profit, menciptakan lanskap yang penuh gejolak.
Membangun ketangguhan di tengah dinamika bisnis: peran strategis SDM
“Brittle” dalam konteks hulu migas berarti sistem yang ada kini mudah retak jika tak dikelola dengan pemahaman menyeluruh, dengan tantangan pada kemampuan organisasi untuk membangun resiliensi internal. Seperti halnya proses dari subsurface hingga menghasilkan net profit adalah lintasan panjang yang kompleks, yang melibatkan fungsi-fungsi berbeda dari hulu hingga hilir.
Namun apa jadinya jika masing-masing fungsi bekerja dalam silo, hanya mengejar KPI sektoral tanpa memahami implikasi keuangan keseluruhan? Resiliensi bukan dibangun dengan otot, tetapi dengan pemahaman lintas-fungsi dan kemauan untuk terhubung.
Kecemasan struktural dan pentingnya empati organisasi
“Anxious” menggambarkan kecemasan kolektif yang muncul saat arah bisnis terasa kabur dan hasil kerja tidak linear dengan dampaknya. Organisasi harus mulai mengasah budaya di mana setiap individu, dari manajemen hingga level teknis, memahami bukan hanya “apa” yang dikerjakan, tapi “mengapa” dan “bagaimana” itu berdampak pada yang lain.
Resiliensi, dalam konteks organisasi, bukan sekadar kemampuan untuk bertahan, melainkan ketangguhan dalam membaca dan memetakan kompleksitas. Di tengah tantangan target yang berlapis, mulai dari subsurface, produksi, hingga net income, setiap individu di organisasi perlu memiliki lebih dari sekadar kapasitas teknis. Dalam kondisi bisnis yang tidak lagi linier, komunikasi lintas fungsi menjadi kunci. Tidak boleh ada silo. Dibutuhkan pemahaman menyeluruh mengenai input, proses, dan output dari setiap bagian organisasi. Di sinilah empati dan mindfulness, kesadaran akan peran dan dinamika tim lain menjadi modal penting.
Memahami kompleksitas berarti tidak hanya bekerja untuk fungsi sendiri, tetapi mampu melihat keterkaitan antarbagian dan berbicara dalam bahasa yang dipahami bersama. Empati dalam dunia kerja berarti memahami bahwa setiap fungsi memiliki tantangan dan ukuran keberhasilan masing-masing. Seorang Perwira mungkin memegang target produksi, namun pemahaman yang lebih luas diperlukan yakni produksi bukan semata tentang angka, tapi tentang bagaimana angka itu menciptakan nilai, yakni profitabilitas dan efisiensi. Begitu pula dengan target investasi yang baik, bukan hanya dilaksanakan, tetapi harus terukur dampaknya terhadap profit.
Non-linearitas sebagai keniscayaan, bukan anomali
Kita hidup di dunia yang tidak lagi memberi hasil sebanding dengan input. Dalam bisnis hulu migas, ini berarti bahwa kenaikan produksi tak otomatis berarti profit meningkat. Di beberapa lapangan mature, justru sebaliknya. Maka, kemampuan membaca konteks dan dinamika aset secara real-time menjadi krusial. Sayangnya, terlalu banyak organisasi yang masih mengejar growth sebagai satu-satunya narasi keberhasilan. Padahal, “Sustainability sometimes means knowing when not to grow.” Pemahaman ini seharusnya tidak dianggap sebagai pengecualian, melainkan menjadi bagian dari DNA strategi—sebuah norma baru dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan.
Mengelola yang tak terpahami: transparansi, data, dan Intuisi
“Incomprehensible” tidak berarti kita menyerah pada kekacauan. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk memperkuat kemampuan berpikir holistik dan pengambilan keputusan berbasis data serta intuisi bisnis. Di tengah dunia yang serba ambigu, kita membutuhkan kombinasi antara transparansi sistemik dan kepekaan personal terhadap makna angka. Namun sayangnya, seringkali informasi strategis tidak turun ke level pelaksana. Inilah ironi besar: kita menuntut sinergi dari bawah, tapi menyimpan pemahaman di atas.
Situasi yang kita hadapi kini semakin kompleks. Setiap kali volume produksi meningkat, biaya ikut melonjak, namun bottom line justru tidak terjaga. Dalam kondisi seperti ini, transparansi dan intuisi menjadi kunci, sebab dalam setiap pengambilan keputusan, ada dua aspek yang harus selalu diperhatikan yakni peran business judgment dan compliance.
Dengan transparansi dan compliance, kita berharap business judgment dapat dijalankan secara nyata, bukan sekadar formalitas, melainkan benar-benar menjadi dasar dalam menyusun rekomendasi dan menetapkan keputusan yang dikomitmenkan serta dimonitor secara konsisten. Karena itu, compliance bukan hanya penting, ia adalah fondasi yang harus dijaga dengan integritas penuh.
Era baru butuh pola pikir baru
Menciptakan “organisasi adaptif” bukan hanya tentang training atau sertifikasi, tetapi tentang memberi ruang bagi setiap insan, untuk melihat gambaran besar dan merasa memiliki bagian di dalamnya.
Kita tidak sedang berada di era pasca-VUCA, tapi di tengah era BANI. Menjawab tantangan ini tidak cukup dengan strategi canggih atau teknologi mutakhir. Yang dibutuhkan adalah transformasi manusia: kapasitas yang kuat, empati yang luas, adaptabilitas yang cair, serta intuisi yang tajam.
PHI-Regional 3 Kalimantan memiliki portofolio yang beragam, mencakup aset mature maupun greenfield, serta peran sebagai operator dan non-operator. Sebagian Perwira bekerja di bawah entitas PHI, sebagian lainnya berada di entitas PHE seperti PHENC, dan ada pula yang menjalankan peran di lingkungan PEP yang memerlukan koordinasi lintas wilayah. Kompleksitas penempatan ini menjadikan pengelolaan dan- penguatan sumber daya manusia sebagai aspek yang sangat krusial untuk memastikan efektivitas operasional serta terciptanya sinergi antarfungsi dan antarlini organisasi. Organisasi harus menciptakan ekosistem di mana strategi dan visi tidak hanya berhenti di ruang rapat, tapi mengalir, hidup, dan beresonansi sampai ke titik paling ujung operasional.
Karena di era BANI ini, bukan siapa yang paling besar yang bertahan, tetapi siapa yang paling adaptif, paling sadar konteks, dan paling terhubung satu sama lain.