OPINI | Generasi Milenial dan Perubahan Iklim
April 06, 2022
OPINI | Generasi Milenial dan Perubahan Iklim
April 06, 2022
Generasi milenial adalah harapan bagi imajinasi masa depan, negeri dengan lingkungan yang bersih dan sehat, biasa diistilahkan sebagai rendah karbon (carbon neutral). Generasi milenial pula yang akan menjadi saksi Indonesia 2045, ketika langit kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, senantiasa biru (blue sky), dan populasi kendaraan listrik (electric vehicle) bertambah secara signifikan.
Udara bersih adalah ambisi warga dunia, oleh karenanya reduksi gas rumah kaca menjadi agenda bersama, termasuk keterlibatan generasi milenial. Indonesia untuk sementara ini belum secara tegas mematok target, pada tahun berapa capaian target carbon neutral. Sekadar perbandingan adalah China, dengan kegiatan ekonomi dan industry skala besar, berani pasang target, pada tahun 2060 akan mencapai net zero emission (NZE, netral karbon), kemudian Jepang pada tahun 2050. Bahkan negara kawasan Skandinavia, berani lebih cepat lagi.
Tahun emas Indonesia (2045) adalah era generasi milenial, yakni generasi Y dan Z, itu sebabnya mereka cukup cemas dengan kecenderungan pemanasan global. Dalam salah satu kegiatan yang bertajuk Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim, pada pertengahan Agustus 2021. Kegiatan ini diikuti oleh 21 perwakilan universitas di Indonesia, antara lain UI, UII, Unibraw, UGM, dan seterusnya.
Salah satu seruan yang muncul adalah, agar pemerintah dan semua pemangku kepentingan menangani isu perubahan iklim secara serius. Tindakan ini penting untuk menjamin kehidupan yang layak bagi generasi mendatang, sebagai ahli waris bumi ini. Sebagaimana dikatakan Marvella (perwakilan UI), penanganan krisis iklim tidak bisa ditunda karena berdampak ke segala aspek kehidupan.
Kegiatan serupa pernah diadakan Desember tahun 2020, yaitu “Indonesia Youth Climate Summit 2020” secara daring. Kegiatan memperoleh respon positif, terlihat dari jumlah dan antusiasme peserta. Artinya sudah ada elemen generasi milenial yang ikut mengampanyekan bahaya pemanasan global, dan bagaimana cara menghindarinya.
Gerakan peduli iklim generasi milenial di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari sosok Gretha Thunberg (pelajar Swedia), seorang aktivis lingkungan belia, dikenal dengan tagline “Friday For Future”. Gerakan yang disebut terakhir ini merupakan inisiatif Greta Thunberg, berupa mogok sekolah setiap Jumat sebagai bentuk menentang perubahan iklim. Dalam acara bertajuk Youth4Climate, yang berlangsung di Milan, Italia, akhir September 2021, Greta Thunberg, secara keras mengingatkan kembali pada pemimpin dunia yang akan hadir pada KTT Iklim di Glasgow, awal November 2021, agar ada agenda konkret bagi penyelematan bumi, bukan hanya janji dan kata-kata.
Gletser meleleh
Salah satu dampak pemanasan global terjadi pada tahun 2020, yang dikenal sebagai tahun terpanas kedua sepanjang sejarah (setelah 2016). Tujuh tahun terpanas dalam sejarah umat manusia terjadi secara berkesinambungan sejak 2014, salah satunya berdampak pada Gletser di Puncak Jaya, Papua. Salju abadi itu telah meleleh, sehingga status “abadi” kelak tak lagi dapat disandangnya. Proses penyusutan luasan dan ketebalan es berjalan dengan cepat, setidaknya sejak tahun 2002, dan diperkirakan pada tahun 2026 akan lenyap sama sekali.
Sungguh tak terbayangkan, salah satu keajaiban dunia yang ada di negeri kita, sebentar lagi akan hilang dalam peta bumi. Menipisnya gletser di Puncak Jaya, serta fenomena pemanasan global dengan dampak (bencana) luar biasa, sudahkan menjadi fokus generasi milenial Indonesia?
Gletser di Puncak Jaya, memiliki memori tersendiri bagi generasi muda dekade 1970 dan 1980-an, terutama mereka yang aktif di kelompok pecinta alam. Lokasi itu dijadikan parameter kompetisi di antara kelompok pecinta alam berbasis kampus. Bagi kelompok yang berhasil menapaki puncak gletser, nama kampus dan kelompok (pecinta alam) menjadi “viral” pula, dan ini sangat membanggakan bagi generasi di era pra-digital.
Sebagian anggota pecinta alam itu, ada yang kemudian berlanjut sebagai aktivis lingkungan, baik secara mandiri maupun bergabung ke NGO. Artinya, bagi generasi 1970-an sampai 1990-an, isu lingkungan cukup mendapat perhatian, dan ada figur tangguh yang menjadi motor mengangkat isu lingkungan. Menipisnya es gletser Puncak Jaya, tentu sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi generasi ini.
Cara tepat mereduksi pemanasan global dan kemungkinan bencana ekologis lainnya adalah, ketika generasi milenial menjadikan EBT (energi baru dan terbarukan) sebagai gaya hidup. Beberapa jenama yang dekat dengan gaya hidup generasi milenial, seperti Coca-cola dan Unilever, sudah memanfaatkan energi surya dalam pasokan listrik ke kantor dan kawasan pabriknya.
Salah satu ranah yang juga menanti partisipasi generasi milenial adalah membangun ekosistem kendaraan listrik. Menggunakan kendaraan listrik dan produk EBT harus dijadikan pilihan, harus dijadikan gaya hidup generasi milenial. Kendaraan listrik dan produk EBT adalah keniscayaan, sebuah langkah strategis sekaligus solusi guna mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, yang menjadi sumber emisi selama ini, terlebih tidak dapat diperbarui.
Generasi milenial bisa menjadi menjadi game changer (faktor penentu) dalam mengejar target EBT dalam bauran energi nasional. Sekadar mengingatkan kembali, target EBT dalam bauran energi nasional adalah 23 persen pada 2025, dan sampai 2020 kemarin, capaiannya belum genap 10 persen. Bila ada gerakan masif, dan EBT dijadikan sebagai gaya hidup generasi milenial, rasanya kita cukup optimis target itu akan tercapai pada saatnya nanti.
Musisi sebagai influencer
Ada yang berbeda dalam sidang tahunan PBB tahun 2021. Itu terjadi ketika kelompok BTS (Beyond The Scene) asal Korsel, kelompok dengan genre K-Pop, mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang sangat terhormat, yakni Sidang Ke-76 Majelis Umum PBB di New York, pertengahan September 2021. Kesempatan itu diberikan, mengingat BTS selama ini dikenal memiliki perhatian terhadap isu perubahan iklim.
Kelompok K-pop lain yang bisa disebutkan adalah Blackpink, yang secara jelas mengampanyekan perubahan iklim. Mereka merilis video, guna mendorong kesadaran publik tentang arti strategis pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim PBB (COP26), di Glasgow
(Skotlandia), awal November 2021. Video itu sudah diunduh oleh 60 juta fans mereka, pada intinya Blackpink meminta, agar komunitas penggemar (populer disebut BLINK) lebih peduli pada isu perubahan iklim.
Paling fenomenal adalah cuitan kelompok musik Coldplay dan telah menjadi trending topic pertengahan September 2021. Dalam cuitannya Coldplay mengundang Presiden Jokowi, untuk berinisiatif memimpin menghadapi krisis iklim. Cuitan Coldplay bisa dibaca sebagai apresiasi dan kepercayaan terhadap figur Jokowi, yang memiliki rekam jejak sungguh-sungguh sehubungan Kesepakatan Paris 2015. Setelah dua dekade menjadi bintang di berbagai konser, dengan tiket selalu terjual habis, saat merilis album terakhir (Everyday Life), dengan tegas Coldplay mengumumkan, mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan konser "jika tidak netral karbon". Kabar seperti ini merupakan mimpi buruk bagi promotor dimana pun (termasuk Jakarta tentunya), yang selama ini selalu mengandalkan pasokan energi listrik berbasis fosil, baik untuk keperluan panggung dan peralatan konser, termasuk transportasi para penonton.
Itu bisa dibuktikan ketika Coldplay berkolaborasi dengan BTS, dalam merilis lagu My Universe, akhir September 2021. Salah satu pesan dari kolaborasi ini adalah terkait proses produksi, sejak kerja kreatif di studio, hingga output dalam format CD dan vinyl, termasuk transportasi bagi personel dan awak pendukung, mensyaratkan pasokan energi bersih dan berkelanjutan (renewable energy).
Beberapa musisi kini semakin vocal menyuarakan isu lingkungan dan perubahan iklim, dan langsung diamplifikasi segenap penggemarnya. Pada K-pop misalnya, sebagian besar fans mereka adalah generasi milenial, yang secara sadar melakukan perjuangan bersama untuk masa depan iklim yang lebih sehat. Melalui platform media sosial, fans K-pop dan musisi dunia lainnya, mendiskusikan dan mengangkat kesadaran warga dunia pada dampak perubahan iklim, seperti polusi, gelombang panas, naiknya permukaan laut, banjir, dan kebakaran hutan.
A Blessing in Disguise
Sebuah hikmah/berkah terselubung kadang tidak kita sadari terjadi di balik masa sulit yang kita hadapi. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini telah banyak mengubah seluruh aspek kehidupan. Keharusan untuk beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru banyak mengubah tatanan hidup masyarakat.
Hidup berdampingan dengan COVID-19 sudah di depan mata, seiring terlaksananya program vaksinasi dan tingginya tingkat kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan 6M. Kehidupan pun kembali normal yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial. Masyarakat sudah mulai rutin menyambangi pusat perbelanjaan, bercengkerama di coffee shop hingga mengagendakan liburan bersama keluarga dan sahabat.
Berdasarkan data dari publikasi NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan ESA (European Space Agency), diketahui bahwa polusi udara (emisi gas NO2) turun hingga 30% di berbagai negara yang menjadi episentrum COVID-19 seperti Tiongkok, Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Temuan ini dianggap sebagai “Blessing in Disguise” dari pandemi COVID-19 karena mampu mengurangi polusi dan memberikan kesempatan kepada alam untuk diperbarui. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup (5/6/2021) juga mengatakan bahwa pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga bagi manusia untuk menjaga keseimbangan alam.
(sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora)
Bukan hanya alam yang mendapatkan berkah terselubung di saat pandemi yang sudah hampir berjalan dua tahun ini, namun ternyata banyak hal positif yang dapat kita nikmati bersama. Beberapa orang mungkin mendapatkan lebih banyak waktu berkualitas dengan keluarga, quality time ternyata dapat dilakukan sederhana di rumah dan menyenangkan. Kita juga dapat menemukan hobi baru yang selama ini belum muncul, seperti memasak, merawat tanaman, memelihara hewan, dll.
Pandemi COVID-19 ini juga membuat banyak orang semakin sadar untuk memprioritaskan kesehatan fisik dan menjaga kesehatan mental. Bekerja dari rumah (work from home) ternyata dapat menjadi lebih efektif dan efisien, terbebas dari kemacetan dan polusi kota besar. Kita pun menjadi terbiasa melakukan pertemuan secara daring dengan keluarga dan kerabat lainnya, seperti perayaan ulang tahun, silahturahmi lebaran, arisan, dll. Hal baru lainnya juga terjadi pada banyak orang yang akhirnya memberanikan diri untuk mencoba usaha kecil atau jualan online, meningkatkan investasi, dsb.
Tentu saja tidak semua orang dapat merasakan berkah di balik pandemi, namun pandemi COVID-19 ini juga membuat kita lebih peduli dan dermawan terhadap sesama yang membutuhkan bantuan, terbukti bahwa banyak gerakan sosial muncul seperti donasi, relawan, dan lain sebagainya yang bertujuan mulia.