Tantangan bagi PHI adalah Membuat SDM Tangguh dan Kompatibel di Industri

  January 03, 2023
Tantangan bagi PHI adalah Membuat SDM Tangguh dan Kompatibel di Industri

  January 03, 2023

Seluruh insan industri hulu migas, terutama PHI, perlu tetap konsisten mendukung keberlanjutan pasokan  energi meskipun relatif tidak memperoleh apresiasi. Pada era kampanye transisi energi yang semakin  meningkat, peran energi fosil terutama minyak dan gas terhadap bauran energi nasional yang masih  sangat besar, relatif tidak diperhatikan dan bahkan cenderung dilupakan.

 


 

Rabu, 28 Desember 2022, PT  Pertamina Hulu Indonesia  (PHI) yang menjadi Regional 3 Kalimantan Subholding Upstream  Pertamina berusia tujuh tahun. 

Kalau diibaratkan seorang anak,  PHI baru masuk ke sekolah dasar – tahapan yang menjadi fondasi bagi proses  pendidikan formal. Namun, di usia yang masih muda, PHI  sudah mengalami beberapa dinamika terutama akibat  pembentukan holding dan subholding migas. Faktanya  mengagumkan. Organisasi PHI tercatat cukup adaptif  dengan struktur yang baru. Perusahaan tidak menemui  hambatan berarti saat mencapai target-target yang telah  ditetapkan pemilik saham.

 

Sebelum menjadi bagian dari Subholding Upstream  Pertamina, PHI adalah entitas tersendiri yang menjadi  induk usaha bagi PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur  (PHKT), PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), dan PT  Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Selama menjadi entitas  tersendiri PHI dapat lebih mandiri dalam menentukan  program dan target. Sementara setelah menjadi induk  dan bagian dari subholding, PHI harus mengoordinasikan  target dan program serta harus menyinergikan semua  kegiatan dengan arah kebijakan dari holding. Dampak  positif sudah mulai terlihat dari sejumlah capaian dan  efisiensi dalam berbagai kegiatan. Salah satu yang  terpantau dilaporkan adalah efisiensi dalam biaya rig, baik  dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan  oleh perusahaan.

 

Selain menjadi penanggungjawab pengelolaan tiga  anak usaha (PHM, PHKT, PHSS), PHI bertanggungjawab  mengelola lapangan migas di Kalimantan yang sebelumnya dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE)  dan berperan dalam pengawasan dan sinergi lapangan-  lapangan yang sebelumnya ditangani PT Pertamina EP  Asset 5. Apakah beban PHI tambah berat? Itu bergantung  pada sudut pandang yang digunakan dalam melihat  struktur yang baru tersebut.

 

Pada satu sisi, memang ada biaya dan kegiatan  tambahan yang harus ditanggung dengan  mengoordinasikan lapangan-lapangan migas yang  sebelumnya tidak berada dalam kelolaan PHI. Tetapi,  jika dimaknai bahwa hal tersebut sebagai tambahan aset, struktur yang baru menjadi peluang bagi  PHE untuk dapat tumbuh dan semakin besar.  Pekerjaan rumah bagi PHI memang tidak  mudah karena itu memerlukan sinergi dengan  para stakeholder untuk memastikan tambahan

kelolaan yang baru tersebut benar-benar menjadi  aset bukan liabilitas.

 

Selama tujuh tahun berdiri, PHI telah beberapa  kali berganti direktur utama.

Pada saat ini, di bawah kepemimpinan Pak  Chalid Said Salim, kinerja PHI terpantau  cukup progresif. Terdapat sejumlah capaian  yang berhasil dilakukan di tengah sejumlah  tantangan industri hulu migas nasional yang tidak sederhana. Apalagi lapangan yang dikelola  oleh PHI notabene merupakan lapangan yang  mature sehingga memerlukan biaya produksi  yang lebih tinggi. Misalnya terkait dengan sumber  daya manusia (SDM). Pak Chalid terpantau  memberikan perhatian lebih di antaranya  tercermin dari peneraparan tata nilai AKHLAK  dalam pengelolaan talenta di PHI.

 

Selain itu, PHI terpantau melakukan sejumlah  pelatihan, sertifikasi, monitoring, project  assignment dan on the job training dengan baik.  Perusahaan melaporkan bahwa lebih dari 700 ribu  jam pembelajaran yang diimplementasikan setiap  tahunnya guna untuk meningkatkan kualitas  SDM. Fakta itu cukup menggambarkan bahwa  PHI sangat memberikan perhatian terhadap  kualitas dan kapasitas SDM yang dimilikinya.

 

Regenerasi SDM vs Transisi Energi

 

Dalam pengembangan kualitas SDM di PHI, hal  yang perlu diantisipasi adalah masalah regenerasi  SDM. Berdasarkan informasi dari SKK Migas,  sebanyak 22% tenaga kerja hulu migas akan  memasuki masa pensiun pada 2030. Kondisi  tersebut mungkin merupakan salah satu isu yang perlu diantisipasi oleh PHI mengingat  selain investasi dan penguasaan teknologi, SDM  merupakan kunci utama dalam pengembangan  dan pengusahaan industri hulu migas. Tanpa  adanya SDM yang handal investasi dan teknologi  yang digunakan dalam kegiatan hulu migas akan  menjadi relatif tidak bermakna. Apalagi, industri  hulu migas nasional mempunyai visi besar  mencapai target produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 Bcfd pada 2030 serta pengembangan  EBT ke depan.

 

Faktor kampanye terhadap transisi energi  (EBT) juga diperkirakan akan berpengaruh pada  ketersediaan SDM di hulu migas. Generasi  muda bisa jadi tidak tertarik lagi untuk berkarier  di industri yang mengelola sumberdaya fosil  meskipun fosil masih sangat berperan dalam bauran energi nasional. Kampanye mengenai fosil  versus EBT yang cenderung tidak proporsional  dapat berpotensi mendorong SDM profesional  untuk menghindari industri fosil termasuk migas.  Intinya terdapat potensi bahwa industri migas  tidak akan menjadi pilihan utama lagi bagi para  SDM yang berkualitas.

 

Selain itu, tantangan yang muncul adalah generasi baru lebih familiar dengan industri jasa  yang berbasis teknologi sementara industri hulu  migas merupakan kelompok industri primer yang  lebih berbasis ekstraktif. Padahal, tantangan yang  muncul dalam pengelolaan industri hulu migas  relatif lebih besar dan memerlukan SDM yang  lebih tangguh dalam banyak hal. Maka, tantangan  utama bagi PHI adalah bagaimana dapat  memperoleh dan menjadikan SDM menjadi lebih  tangguh yang compatible dengan tantangan yang  ada pada industri hulu migas dari waktu ke waktu.

 

Di era transisi energi dari energi fosil ke EBT, peran  PHI sebagai jembatan transisi energi akan sangat  besar. Hal tersebut terkait porsi produksi gas dari  total produksi migas yang dihasilkan perusahaan  relatif cukup besar. Dalam kelompok energi fosil  gas tercatat sebagai yang paling rendah emisi  dan ramah lingkungan. Sementara jika mengingat  adanya keterbatasan dalam pengembangan EBT  hingga 2060 pun Indonesia kemungkinan masih  akan memerlukan fosil utamanya gas.

 

Pengembangan EBT masih akan dihadapkan  pada dua tantangan utama. Pertama, memerlukan biaya investasi yang cukup besar  sehingga harga jual EBT pada awal produksi  sampai periode tertentu masih akan relatif lebih  mahal dan memerlukan intervensi (subsidi) dari pemerintah agar terjangkau oleh daya beli  masyarakat. Kedua, pasokan energi dari EBT  umumnya bersifat intermitensi atau lebih tidak  stabil jika dibandingkan dengan sumber energi  berbasis fosil.

 

Berdasarkan kedua permasalahan mendasar  tersebut, peran perusahaan energi berbasis  fosil termasuk PHI masih akan sangat penting.  Selain untuk memenuhi pasokan energi, peran  PHI dalam mendukung perkembangan ekonomi  dalam negeri juga tercatat sangat strategis. Hal  tersebut dapat terlihat dari beberapa contoh  konsumen gas PHI yang di antaranya adalah meliputi industri listrik, Kilang Balikpapan, industri  pupuk dan petrokimia, jaringan gas (jargas), dan  LPG. Dalam struktur ekonomi Indonesia saat ini, sejumlah konsumen gas dari PHI tersebut  merupakan sektor-sektor yang menjadi jangkar  pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Tantangan ke depan harus diantisipasi oleh  Perwira PHI. Tantangan utamanya adalah  bagaimana bisa meneguhkan tekad di tengah  kampanye yang relatif negatif terhadap industri  fosil. Saat ini, semacam ada pelabelan bahwa  dalam sektor energi industri fosil merupakan  kelompok kedua setelah industri EBT. Seluruh  insan industri hulu migas terutama PHI perlu  tetap konsisten mendukung keberlanjutan  pasokan energi meskipun relatif tidak  memperoleh apresiasi dari para stakeholder dan  sebagian publik.

 

Perlu disampaikan di sini bahwa saat ini porsi  fosil dalam bauran energi Indonesia sekitar 89%  dan sebagian besar di antaranya adalah migas.  Sementara porsi EBT baru sekitar 11% tetapi  kampanye positifnya luar biasa. Sebaliknya  kampanye negatif terhadap migas yang masih  sangat berperan dalam bauran energi nasional  juga tampak relatif besar. Tugas berat bagi PHI adalah bagaimana dapat meyakinkan agar  pemangku kebijakan memberikan insentif bagi PHM, PHSS, dan PHKT misalnya, agar  keekonomian proyek dari masing-masing  lapangan yang sedang dikerjakan dapat  memenuhi keekonomiannya. Narasi mengenai  biaya manfaat dari pemberian insentif versus  jika harus bergantung sepenuhnya dari impor  migas, merupakan yang perlu terus dibangun dan disuarakan baik kepada pengambil kebijakan  maupun publik secara umum.

 

Harapan saya kepada PHI semoga menjadi  perusahaan yang semakin besar dan dapat  menjadi salah satu yang diandalkan dalam  pemenuhan migas untuk kebutuhan di dalam  negeri. Semoga PHI juga dapat menemukan  lapangan-lapangan baru untuk dapat  menggantikan sejumlah lapangan yang  kemampuan produksinya sudah menurun.

Harapan terbesar kepada PHI, semoga dalam  beberapa waktu ke depan dapat menjadi bagian  utama yang dapat mengembalikan era kejayaan  industri hulu migas nasional.(*)

 

Biodata

Komaidi Notonegoro

 

PENDIDIKAN:

1.Doktor Ekonomi dari  Universitas Trisakti

2.Magister Ilmu Ekonomi dari  Universitas Trisakti

3.Sarjana Ekonomi dari FEB  Universitas Airlangga

 

PENGALAMAN KERJA:

1 Direktur Eksekutif ReforMiner  Institute (2014-Sekarang)

2.Dosen Pascasarjana  Fakultas Ekonomi dan Bisnis  Universitas Trisakti

3.Peneliti di Bursa Efek  Indonesia

4.Tenaga Ahli di Komisi VII DPR

5.Penulis artikel/opini di  sejumlah media

6.Narasumber bidang ekonomi  dan energi media massa  nasional

DOWNLOAD