PHI Bersinergi dalam Satu Warna
January 03, 2023
PHI Bersinergi dalam Satu Warna
January 03, 2023
Perwira pelan-pelan harus mengerti gambaran lebih besarnya sehingga memahami tujuan dia bekerja untuk apa. Kadang-kadang pekerja terlalu fokus kepada pekerjaan masing-masing.
Secara historis pembentukan PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) untuk menggabungkan atau mengelola Wilayah Kerja (WK) terminasi. Awalnya hanya untuk WK terminasi yang strategis di Kalimantan Timur. Salah satunya adalah Blok Mahakam. Intinya fokus di wilayah Kalimantan Timur.
Mengambil alih pengelolaan WK yang sudah eksis puluhan tahun tentu tidak mudah. Banyak tantangan yang muncul dari sisi sumberdaya manusia (SDM), sistem, dan kultur ataupun budaya kerja perusahaan (culture). Pada awal berdiri, struktur PHI dibuat seperti subholding yang memiliki perusahaan di bawahnya yakni Pertamina Hulu Mahakam (PHM), Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Pertamina Hulu Sangasanga (PHSS) dan Pertamina Hulu West Ganal (PHWG). Jadi, saat kepemimpinan Pak Embong (Bambang Manumayoso, red) berakhir sekitar pertengahan 2020, saat itu berbarengan dengan restrukturisasi holding-subholding di level PT Pertamina (Persero), bagi perusahaan yang bergerak di hulu migas itu tidak terlalu mengagetkan.
PHI sekarang menjadi bagian dari Subholding Upstream yang mengelola Regional 3 Kalimantan dengan beberapa anak perusahaan. Idenya biar Perusahaan bisa lebih mandiri dalam menjalankan operasional teknis Hulu Migas. PHI juga diharapkan lebih simple dan cepat dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Simplifikasi organisasi seperti itu memang harus dilakukan.
Saya merasa hal yang normal dalam reorganisasi perusahaan terjadi trade-off dari lack atau keterlambatan mengadopsi sistem kerja baru. Itu normal. Transisi yang baik tanpa harus mengorbankan kinerja. Kalau kami melihat saat masa transisi hingga kini, kinerja PHI tetap fine tuning. Saya rasa kami sudah masuk tahap maturasi atau kedewasaan berorganisasi. Jadi, hal-hal yang menyangkut miskomunikasi, misorganisasi harus bisa dihindari. Saya sebetulnya ingin organisasi itu lebih dinamis walaupun sebagai perusahaan milik negara memang sulit dilakukan. Saat reorganisasi banyak stakeholder yang terlibat
sehingga tidak bisa leluasa mengubah organisasi sesuai dengan dinamika yang ada di luar.
Saya bukan di level eksekutor jadi tidak terlalu detail mengetahui hal-hal kecil yang masih terus find tuning. Akan tetapi dari berbagai diskusi antara Board of Director (BoD) dan Board of Commisioner (BoC) saat Management Walkthrough (MWT) terlihat ada beberapa hal yang menjadi kendala. Contohnya pengadaan barang. Itu kami temukan hal-hal yang membuat pekerjaan menjadi terhambat. Ada delay. Ini sifatnya rutin kami temui tahun lalu. Kemudian kekurangan tenaga kerja karena masalah reorganisasi ada pemindahan orang-orang. Satu pos diisi dua orang sementara butuhnya lima orang. Saat mendesain organisasi yang merancang struktur organisasi tidak bertemu dengan dunia yang sebanarnya. Kekurangan kan ditemukan saat di lapangan. Seperti mobil saat berjalan baru terasa ada perbedaan.
Saya memberikan advice pada manajemen untuk melakukan perbaikan. Komisaris berdiskusi dengan Pak Chalid (Dirut PHI, red) dan menyarankan supaya beliau menerapkan prinsip yang benar karena dalam fine tuning organisasi perusahaan terkadang banyak melihat ke diri sendiri. Padahal harus melihat juga posisi perusahaan dalam sistem lebih besar. Secara internal fine tapi bertemu pihak luar ada prosedur
terutama masalah regionalisasi. Tahun lalu ada aset-aset milik PEP, PHE kemudian dipindahkan ke PHI yang secara legal kontrak masih dipegang perusahaan lama. Misalnya Field Bunyu yang dahulu dikelola Pertamina EP (PEP). Ini masih sering menimbulkan pertanyaan di kawan-kawan seharusnya seperti apa. Pelan-pelan kami perbaiki. Tapi, ini normal bahwa saat ini seharusnya masuk masa pendewasaan organisasi. Tidak akan dilakukan perubahan yang signifikan dalam setahun dua tahun ke depan.
Untuk pengelolaan PHI terhadap lapangan PEP, pada tahap awal reorganisasi memang banyak keluhan dari SKK Migas karena ada hal- hal yang membingungkan. Misalnya pengelolaan Bunyu seperti yang saya sampaikan tadi.
Pengelolaannya di bawah Pak Chalid, tetapi yang punya kontrak adalah PEP. Menurut saya selama kontrak belum diubah basis legalnya, selama itu aset-aset yang di bawah PEP selalu harus di bawah yang tanda tangan kontrak kecuali kontrak diamandemen. Kami melakukan adjusment komunikasi ke SKK Migas dan Kementerian ESDM bahwa secara internal kami lakukan seperti itu. Di awal-awal ada resistensi. Saya lihat dan amati dalam setahun ini istilahnya miskomunikasi kami dengan SKK Migas jauh berkurang dibanding pada waktu awal reorganisasi. Sekali lagi selama kontrak tidak berubah kami harus ikuti itu dan tantangannya bagaimana kami tetap get arround dengan kondisi internal.
Konsolidasi Produksi
Lalu mungkin muncul pertanyaan produksi dari lapangan PEP dikonsolidasikan ke PEP atau PHI? Kami bedakan antara prespektif internal dan ekstermal. Secara internal mereka dikonsolidasikan ke PHI tapi secara eksternal Work Program and Budget (WP&B) saya yakin masuk ke PEP. Di awal zonasi rencana kerja aset-aset eks PEP dan PHE hampir setengahnya (WP&B) diberikan ke PHI. Kemudian saya diskusikan dengan Pak Chalid bahwa ini tidak bisa seperti ini terus caranya.
Hal yang paling penting bagian compliance atau legal bisa menjaga pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance (GCG) sehingga tidak melanggar aturan yang berlaku. Ini mungkin PR yang unik untuk kawan- kawan legal karena kami punya organisasi prespektif internal berubah. Idealnya kalau mau pisah WK-nya harus dipisah juga. Tapi barangkali banyak faktor-faktor eksternal yang sulit diubah atau amandemen.
Pesan saya memang PHI berjalan di posisi yang ada perbedaan perspektif internal dan eksternal sehingga harus hati-hati agar tidak membuat kesalahan yang tidak perlu.
Terkait dengan produksi, saya memang tidak ikuti bagaimana performa PHI sebelum saya terlibat menjadi komisaris. Akan tetapi yang saya amati dalam dua tahun terakhir ini dengan tipikal lapangan yang cukup mature PHI berjuang keras untuk fight decline. Dua tahun terakhir decline yang terjadi jauh lebih kecil. Kami bisa tahan di angka 10%.
Itu sangat bagus karena kalau lapangan tua seperti sekarang natural decline antara 30%-40%. Tantangan paling besar saat mengelola lapangan mature dalam suatu reservoir migas kalau do nothing akan decline secara natural. Kalau bisa menjaga level produksi existing itu
Biodata
Adriansyah lahir di Palembang 62 tahun silam. Meraih gelar Sarjana Tahun 1987, kemudian pada tahun 1993, Adriansyah melanjutkan pendidikan pascasarjana bidang Geofisika di Institut Teknologi Bandung.
Dia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. Geosciences dari University of Texas, Dallas pada tahun 2000. Dia memulai karir sebagai Processing Geophysics di PT GECO Indonesia tahun 1987.
Bergabung ke Pertamina sebagai Operations Geophysicist tahun 1989-1990 di UEP I Pangkalan Brandan, kemudian menjadi Sr. Specialist for New Physical Methods tahun 2000-2009 di Upstream Technology Center (UTC). Tahun 2009 dipercaya menjadi Vice President UTC, kemudian menjadi Senior Vice President Upstream Business Development tahun 2011 - 2013.
Pada bulan April tahun 2013 diangkat menjadi Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energi (PGE), kemudian pada bulan Oktober 2013 menjadi Presiden Direktur PT Pertamina EP (PEP).
Adriansyah diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) pada tanggal 23 April 2015. Pengalaman di luar Pertamina pada tahun 2002-2004 terpilih menjadi Presiden Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Saat ini juga mengajar mata kuliah Seismik Data Processing di program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Serta aktif menjadi anggota HAGI, SEG, dan EAGE. Sesuai Keputusan Pemegang Saham secara sirkuler tentang RUPS Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris tanggal 15 Februari 2021 Adriansyah diangkat menjadi Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Indonesia.
sudah sangat luar biasa. Bagaimana menjaga decline recover cadangan yang diproduksi sehingga umur lapangan itu sudah bisa hitung. Kalau cadangan lima kami produksi satu maka umur lapangan lima tahun.
Yang harus dilakukan adalah menemukan cadangan baru sehingga satu lapangan yang sudah dieksploitasi ini selalu diganti. Ini yang kalau menurut saya despite adanya reorganisasi. Kalau ada reorganisasi masif biasanya produksi akan turun. Nah, risiko kalau ada lapangan tua seperti yang dimiliki PHI produksinya sudah turun maka menaikkannya lagi setengah mati. Maka, pada prinsipnya mampu menahan produksi turun saja sudah bagus.
Kalau melihat kurva lapangan minyak pasti naik turun kecuali ditemukan cadangan baru.
Dengan reorganisasi yang mengakibatkan adanya keterbatasan orang, kemudian muncul pandemi pada 2020, dilihat effort produksi dan decline yang dicapai, kinerja PHI tidak terlalu jelek. Ini suatu effort luar biasa. Para pekerja eks Total melihat profil produksi PHI pasti juga kaget. “Kok bisa seperti itu?”. Mestinya terjun bebas. Apalagi kalau mereka awalnya mengangap jika dikelola Pertamina tidak akan lebih baik dari Total. Saya rasa pekerja PHI sudah melakukan effort yang terbaik.
Saya juga melihat hasil yang dicapai walaupun tidak sempurna tapi sudah sesuai dengan trek. Apalagi ada discovery sumur-sumur eksplorasi baru, penerapan konsep borderless yang dibuat Pak Chalid. Kami katakan hal itu bisa meremajakan lapangan migas yang dikelola PHI. Konsep borderless itu membuat wawasan tim eksplorasi seolah-olah lapangannya dibuka sehingga bisa bermain seperti yang mereka suka.
Tipikal pola pengelolaan lapangan mature adalah masif investasi dan masif pekerjaan hanya untuk menopang atau menahan decline produksi.
Memang kalau dilakukan pekerjaan masif itu kendala-kendala logistik, kendala sosial atau teknikal akan muncul karena rig harus bergerak cepat. Pengeboran harus dipercepat. Targetnya pengeboran 50 sumur setahun sehingga harus melakukan inovasi. Saat pertama masuk PHI, saya melihat beberapa pimpinan seperti Pak Agus (Agus Amperianto pernah menjabat
GM PHM, red) menunjukkan inovasi di Blok Mahakam dengan Elnusa saat menerapkan Hydrolic Workover Unit (HWU). Jadi, mereka bisa melakukan workover sangat cepat di daerah swamp. Inovasi itu kelihatannya simple tapi sangat efektif. Inovasi begini yang harus kita lakukan supaya pekerjaan sesuai dengan target dan itu harus bisa direplikasi.
Inovasi dalam pengelolaan lapangan seperti ini sesuatu yang dibutuhkan bukan suatu pekerjaan sampingan atau gaya-gayaan. Inovasi harus di depan menjadi ujung tombak. Saya berharap pekerja PHI selalu harus terbuka membuat ide baru. Dari kunjungan saya beberapa kali ke Mahakam dan berdiskusi dengan para pekerja saya melihat energi positif untuk melakukan inovasi. Barang kali saat bekerja dengan Total PHI sekarang menjadi bagian dari Subholding Upstream yang mengelola Regional 3 Kalimantan dengan beberapa anak perusahaan. Idenya biar Perusahaan bisa lebih mandiri dalam menjalankan operasional teknis Hulu Migas. PHI juga diharapkan lebih simple dan cepat dalam proses pengambilan keputusan bisnis.
Simplifikasi organisasi seperti itu memang harus dilakukan.
dulu kreativitasnya tidak 100% dikeluarkan. Saya dan Pak Chalid membuat untuk kawan-kawan mengaktualisasikan kreasinya 110%. Dalam suatu perusahaan minyak, aktivitas eksplorasi merupakan pembuka jalan untuk pengelolaan masa depan aset yang dimiliki. Ada dua eksplorasi. Misalnya ada far away exploration, ada wild cat exploration. Far away itu biasanya eksplorasi yang terletak antara dua reservoir konsepnya sama, exploration play-nya
sama. Jadi, seperti skenario Wild cat ini bukannya harus keluar tapi konsep berpikir play-nya beda. Jadi, kalau dulu deposit di lapisan A masuk dari sini akan tetapi create skenario baru bagaimana lapisan B setelah dilakukan studi dan evaluasi dapat ditentukan bisa dibor atau tidak. Itu seninya. Saya melihat eksplorasi masih banyak berkutat di area East Kalimantan seperti PHM, PHKT. Memang ada beberapa play yang diubah sedikit-sedikit sehingga dilakukan eksplorasi dan mendapatkan cadangan. Ada yang benar-benar wild cat yang gagal tapi ada indikasi hidrokarbon. PHI harus berani. Saya rasa itu hal yang membuat semua pihak belajar. Akhir-akhir ini, kami challenge tim eksplorasi untuk menentukan apa yang bisa dilakukan untuk open area yang belum dieksplorasi.
Ada memang temuan seperti Nunukan belum bisa di-develop. Kemudian ada full eksplorasi seperti di Ambalat. Mereka treat-nya sama, tapi ada prioritas untuk eksplorasi. PHSS dan PHKT mereka setelah dapat insentif ada
komitmen pengeboran sumur eksplorasi yang harus dilakukan. Ada hal-hal mereka istilahnya melakukan insight of contract tapi bukan berarti asal bor. Saya melihatnya ada discovery dari sumur eksplorasi Manpatu-1X (MPT-1X) pada awal 2022 dengan memanfaatkan energi positif kawan-kawan PHM. Sudah dijanjikan dalam empat tahun sumur Manpatu sudah bisa produksi. Tim eksplorasi patut diberikan apresiasi.
Saya rasa insentif untuk aset atau WK, termasuk juga untuk eksplorasi. Akan tetapi karena ini gross split mungkin agak beda ceritanya. Pekerjaan risiko paling besar itu eksplorasi. Dalam sistem gross split risiko ditanggung perusahaan sehingga pertimbangan kebijakannya dari sisi prioritas akan berbeda. Contoh kalau punya sumur eksplorasi dengan risiko sama di area PHM dan PHSS barang kali secara keekonomian dan risiko bagus memilih PHM karena kontraknya cost recovery sementara PHSS menggunakan gross split.
Aktivitas sharing data eksplorasi menjadi inti kekuatan tim subsurface. Apabila memiliki data atau melihat data lebih banyak akan semakin banyak dapatkan informasi sehingga membuat link lebih logis. Misalnya, explorationist Sumatera bukan berarti tidak perlu mengetahui data di Jawa atau Kalimantan karena prinsipnya analog atau sama. Dari sisi bisnis semakin banyak data yang di-share semakin baik. Seharusnya di SKK Migas ada semacam status lokasi eksplorasi atau sumurnya. Saya setuju dengan ide data sharing selama data itu merupakan data teknis yang sifatnya saling bisa bertukar informasi positif.
Akan tetapi dari sisi bisnis saat dilakukan data sharing harus dipilah terlebih dahulu.
Dalam forum-forum seperti pertemuan Indonesia Petroleum Association (IPA) melakukan diskusi dan menggambarkan kondisi geologi itu bentuk sharing. Kalau memang misalnya SKK Migas punya ide seperti itu, menurut saya SKK Migas bisa mengelola informasi yang didapatkan IPA menjadi semacam panduan eksplorasi Indonesia atau bank data. Tapi, kalau misalnya satu calon investor datang tanpa komitmen sharing data, menurut saya tidak umum dilakukan. Minimal bisa membatasi diri antara kepentingan bisnis dan teknis.
Untuk pengelolaan aset di Kalimantan, saya pikir tantangan utamanya masalah klasik yakni
bagaimana PHI bisa mengelola lapangan sebaik- baiknya. Istilahnya ekstrak migas dari reservoir semaksimal mungkin. Tantangan kedua PHI tetap akan menjadi model untuk memadukan teknologi dan kultur yang berbeda sehingga membuat warna PHI sendiri. Menurut saya perusahaan diwarisi aset-aset sangat baik. Tantangannya bagaimana mengelola tiga aset besar dengan kultur beda untuk menjadi suatu sistem sinergi. PHI harus lebih produktif, punya bekal lebih baik, baru setelah itu berbicara bagaimana pengelolaan aset tersebut ke depan. Reorganisasi harus lewati dengan baik sehingga tidak ada celah-celah yang bisa membuat pertumbuhan terlambat. Banyak hal yang harus dikerjakan perusahaan untuk mengelola lapangan yang sudah mature.
Tantangan ketiga putuskan dulu kebijakan perusahaan untuk extend atau menambah produksi migas. Apabila mau meningkatkan produksi tidak bisa dengan memanfaatkan lapangan yang ada sekarang. Jalan satu-satunya membuka lapangan baru. Dengan konsep sekarang, borderless, kegiatan joint study WK migas sangat terbuka. Menurut saya peluang PHI masih besar terutama untuk area Kalimantan.
Saya melihat future perusahaan masih sangat baik dan sangat menantang. Namun, kembali lagi yang penting bagaimana view perusahaan terhadap aset. Aset seharusnya dilihat bukan suatu yang statis tapi dinamis. Reservoir kadang- kadang hanya beda konsep dan beda kedalaman bisa menemukan suatu hal baru. Hal seperti itu kembali kepada kreativitas inovasi dengan challenge besar akan membuka ruang kreativitas yang lebar. Kreativitas dalam inovasi adalah keharusan bukan ekstra energi.
Pesan Bagi Perwira PHI
Para perwira PHI harus terus bersemangat. Pertama, dalam masa pendewasaan organisasi pasti akan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai. Lakukan fine tuning. Menerima umpan balik atau feedback dari karyawan bagaimana bisa melakukan operasi dan bisnis dengan lebih baik itu yang perlu mereka sadari. Kedua, perusahaan butuh kreativitas dan inovasi. Masa depan industri migas masih sangat panjang untuk para pekerja muda. Saat town hall meeting ada pertanyaan kalau minyak habis kita kemana? Saya bilang minyak bisa habis tapi skill yang Anda miliki melekat pada diri sendiri. Skill itu barangkali menjadi modal sebagai pekerja. PHI punya lapangan yang kompleks sehingga merupakan kesempatan bagi karyawan untuk membangan skill jauh lebih baik.
Saya harus mengatakan keuntungan paling besar saat bekerja di PHI adalah skill dan experience. Jadi, selama fokus pada itu akan muncul kretivitas dan inovasi. Setiap karyawan harus menyadari kewajibannya dalam posisi masing-masing dalam aspek lebih besar. Dalam sistem perusahaan ada ratusan ribu moving part. Biar jalan semua harus sesuai fungsi masing- masing. Kalau masing-masing dari karyawan hanya melakukan tugas sendiri tanpa menyadari konsekuensi kualitas pekerjaannya terhadap internal akan menjadi masalah. Pekerja pelan- pelan harus mengerti gambaran lebih besarnya sehingga memahami tujuan dia bekerja untuk apa. Kadang-kadang pekerja terlalu fokus kepada pekerjaan masing-masing. Dalam konteks ini perlu ada cross cultural communications.
PHI tahun lalu dapat 5 penghargaan PROPER Emas. Pencapaian itu merupakan perwujudan komitmen dari Persero hingga BoD-BoC di bawahnya dalam menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Tetapi, pelaksanaan atau eksekusi dalam subholding akan tergantung bagaimana bentuk leadership dan iklim perusahaan. Saya rasa kuncinya bagaimana perusahaan meng-create iklim yang sehat, kompetitif dan transparan.
Salah satu yang saya suka dalam aspek transparansi dalam pengambilan kebijakan. Kalau saya perhatikan, Pak Chalid selalu diskusikannya dengan level di bawah sehingga kebijakan itu mengakar. Jadi, seolah-olah kebijakan tersebut bukan top down tapi bottom up. Kewajiban yang luar biasa bagaimana menyatukan tiga perusahaan.
Saya tidak mau anak perusahaan PHI jalan masing-masing. PHM, PHSS, PHKT hanya lapor ke Pak Chalid dan seterusnya. Saya berharap PHI punya satu warna. Bersinergi lebih besar lebih baik. Kadang-kadang mengelola aset upstream perlu sentuhan agak berbeda. Pekerja di lapangan harus bekerja 70% dengan hati karena kadang- kadang pekerjaannya tidak ada yang bisa mengontrol. Kualitas pekerjaannya bergantung dirinya sendiri. Dia bisa aja asal-asalan dan tidak ada yang tahu. Pimpinan harus dapat memotivasi dengan baik dengan melakukan sentuhan kemanusiaan. Bekerja di Pertamina harus nyaman. Aset yang paling besar adalah SDM sehingga harus dijaga dengan benar. Saat SDM sudah bagus produksi akan dengan sendirinya meningkat.
Pada era transisi energi, para pekerja PHI harus terus membangun skill-nya. Mereka wajib berprinsip tidak pernah berhenti belajar di setiap kesempatan. Pengalaman harus diekstraksi. Selain itu, pekerja tidak menutup diri dari informasi yang terkait dengan diversifikasi energi. Pertamina memiliki PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang merupakan industri masa depan. Saya melihat skill yang dibutuhkan di sana mirip dengan keahlian di hulu migas. Saya pernah menjadi Dirut PGE selama satu semester. Saya bilang jika punya skill di hulu migas bisa dipakai di sana. Ini cara perusahaan membangun pemahaman karyawan bahwa yang dikelola adalah perusahaan energi bukan oil and gas company.
Fenomena ini perlu diketahui supaya punya modal kira-kira ke depan mau seperti apa. Ini menyangkut kebijakan energi negara. Diversifikasi energi ini konsep jangka panjang Indonesia sehingga dinamikanya harus dimengerti.
Karyawan tidak boleh membatasi persepsi saya tukang cari minyak tetapi tukang ekstraksi energi. Saat di PHM, saya berjalan ke area waste energy dimana sampah dikelola hingga menghasilkan gas metana untuk bahan bakar kompor yang digunakan masyarakat di sana. Ini suatu contoh program CSR yang menurut saya sangat punya message besar arah diversifikasi energi.
Dalam menjalankan program CSR ini, karyawan PHM menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi pipa yang dikuasainya menjadi “piping miniature” yang kompatibel di lapangan. Hal-hal seperti itu perlu pelan-pelan dibangkitkan sehingga para pekerja bisa mengerti generasi 10 tahun ke depan mungkin tidak akan terkait lagi dengan oil and gas. Sumber daya migas tidak tergantikan dan jumlahnya terbatas sehingga suatu saat akan habis.
Mau tidak mau dunia akan bergerak. Saya rasa Indonesia cukup beruntung karena pemerintah getol mendorong penggunaan EBT. Contohnya pada acara G20 beberapa waktu lalu dengan memanfaatkan mobil listrik. Walaupun ini skalanya masih kecil tapi itu menunjukkan indikasi arahnya menuju sana. Pertamina pelan- pelan harus mengubah mindset bergerak ke sana baik secara global, nasional maupun perusahaan. Dengan mendeteksi arah perubahan Pertamina maka Perwira akan dapat mengatur skill apa yang dibutuhkan dengan kondisi yang nanti akan dihadapi.(*)