PHI Bersinergi dalam Satu Warna

  January 03, 2023
PHI Bersinergi dalam Satu Warna

  January 03, 2023

Perwira pelan-pelan harus mengerti gambaran lebih besarnya  sehingga memahami tujuan dia bekerja untuk apa. Kadang-kadang  pekerja terlalu fokus kepada pekerjaan masing-masing.

 


 

Secara historis pembentukan PT  Pertamina Hulu Indonesia (PHI) untuk  menggabungkan atau mengelola Wilayah  Kerja (WK) terminasi. Awalnya hanya  untuk WK terminasi yang strategis di  Kalimantan Timur. Salah satunya adalah  Blok Mahakam. Intinya fokus di wilayah Kalimantan Timur.

 

Mengambil alih pengelolaan WK yang sudah eksis puluhan  tahun tentu tidak mudah. Banyak tantangan yang muncul dari  sisi sumberdaya manusia (SDM), sistem, dan kultur ataupun  budaya kerja perusahaan (culture). Pada awal berdiri, struktur  PHI dibuat seperti subholding yang memiliki perusahaan di  bawahnya yakni Pertamina Hulu Mahakam (PHM), Pertamina  Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Pertamina Hulu Sangasanga  (PHSS) dan Pertamina Hulu West Ganal (PHWG). Jadi, saat  kepemimpinan Pak Embong (Bambang Manumayoso, red)  berakhir sekitar pertengahan 2020, saat itu berbarengan dengan  restrukturisasi holding-subholding di level PT Pertamina  (Persero), bagi perusahaan yang bergerak di hulu migas itu tidak  terlalu mengagetkan.

 

PHI sekarang menjadi bagian dari Subholding Upstream yang  mengelola Regional 3 Kalimantan dengan beberapa anak  perusahaan. Idenya biar Perusahaan bisa lebih mandiri dalam  menjalankan operasional teknis Hulu Migas. PHI juga diharapkan  lebih simple dan cepat dalam proses pengambilan keputusan  bisnis. Simplifikasi organisasi seperti itu memang harus  dilakukan.

 

Saya merasa hal yang normal dalam reorganisasi perusahaan  terjadi trade-off dari lack atau keterlambatan mengadopsi  sistem kerja baru. Itu normal. Transisi yang baik tanpa harus  mengorbankan kinerja. Kalau kami melihat saat masa transisi  hingga kini, kinerja PHI tetap fine tuning. Saya rasa kami sudah  masuk tahap maturasi atau kedewasaan berorganisasi. Jadi,  hal-hal yang menyangkut miskomunikasi, misorganisasi harus  bisa dihindari. Saya sebetulnya ingin organisasi itu lebih dinamis  walaupun sebagai perusahaan milik negara memang sulit  dilakukan. Saat reorganisasi banyak stakeholder yang terlibat

sehingga tidak bisa leluasa mengubah organisasi sesuai dengan  dinamika yang ada di luar.

 

Saya bukan di level eksekutor jadi tidak terlalu detail mengetahui  hal-hal kecil yang masih terus find tuning. Akan tetapi dari  berbagai diskusi antara Board of Director (BoD) dan Board of  Commisioner (BoC) saat Management Walkthrough (MWT)  terlihat ada beberapa hal yang menjadi kendala. Contohnya pengadaan barang. Itu kami temukan hal-hal yang membuat pekerjaan  menjadi terhambat. Ada delay. Ini sifatnya rutin kami temui tahun lalu.  Kemudian kekurangan tenaga kerja karena masalah reorganisasi ada  pemindahan orang-orang. Satu pos diisi dua orang sementara butuhnya  lima orang. Saat mendesain organisasi yang merancang struktur  organisasi tidak bertemu dengan dunia yang sebanarnya. Kekurangan  kan ditemukan saat di lapangan. Seperti mobil saat berjalan baru terasa  ada perbedaan.

 

Saya memberikan advice pada manajemen untuk melakukan  perbaikan. Komisaris berdiskusi dengan Pak Chalid (Dirut PHI, red) dan  menyarankan supaya beliau menerapkan prinsip yang benar karena  dalam fine tuning organisasi perusahaan terkadang banyak melihat ke  diri sendiri. Padahal harus melihat juga posisi perusahaan dalam sistem  lebih besar. Secara internal fine tapi bertemu pihak luar ada prosedur

terutama masalah regionalisasi. Tahun lalu ada aset-aset milik PEP, PHE  kemudian dipindahkan ke PHI yang secara legal kontrak masih dipegang  perusahaan lama. Misalnya Field Bunyu yang dahulu dikelola Pertamina  EP (PEP). Ini masih sering menimbulkan pertanyaan di kawan-kawan  seharusnya seperti apa. Pelan-pelan kami perbaiki. Tapi, ini normal  bahwa saat ini seharusnya masuk masa pendewasaan organisasi. Tidak  akan dilakukan perubahan yang signifikan dalam setahun dua tahun ke  depan.

 

Untuk pengelolaan PHI terhadap lapangan PEP, pada tahap awal  reorganisasi memang banyak keluhan dari SKK Migas karena ada hal-  hal yang membingungkan. Misalnya pengelolaan Bunyu seperti yang  saya sampaikan tadi.

 

Pengelolaannya di bawah Pak Chalid, tetapi yang punya kontrak adalah  PEP. Menurut saya selama kontrak belum diubah basis legalnya, selama  itu aset-aset yang di bawah PEP selalu harus di bawah yang tanda tangan  kontrak kecuali kontrak diamandemen. Kami melakukan adjusment  komunikasi ke SKK Migas dan Kementerian ESDM bahwa secara internal  kami lakukan seperti itu. Di awal-awal ada resistensi. Saya lihat dan amati  dalam setahun ini istilahnya miskomunikasi kami dengan SKK Migas jauh  berkurang dibanding pada waktu awal reorganisasi. Sekali lagi selama  kontrak tidak berubah kami harus ikuti itu dan tantangannya bagaimana  kami tetap get arround dengan kondisi internal.

 

Konsolidasi Produksi

Lalu mungkin muncul pertanyaan produksi dari lapangan PEP  dikonsolidasikan ke PEP atau PHI? Kami bedakan antara prespektif  internal dan ekstermal. Secara internal mereka dikonsolidasikan ke PHI  tapi secara eksternal Work Program and Budget (WP&B) saya yakin  masuk ke PEP. Di awal zonasi rencana kerja aset-aset eks PEP dan  PHE hampir setengahnya (WP&B) diberikan ke PHI. Kemudian saya  diskusikan dengan Pak Chalid bahwa ini tidak bisa seperti ini terus  caranya.

 

Hal yang paling penting bagian compliance atau legal bisa menjaga  pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance (GCG) sehingga tidak  melanggar aturan yang berlaku. Ini mungkin PR yang unik untuk kawan-  kawan legal karena kami punya organisasi prespektif internal berubah.  Idealnya kalau mau pisah WK-nya harus dipisah juga. Tapi barangkali  banyak faktor-faktor eksternal yang sulit diubah atau amandemen.

Pesan saya memang PHI berjalan di posisi yang ada perbedaan  perspektif internal dan eksternal sehingga harus hati-hati agar tidak  membuat kesalahan yang tidak perlu.

 

Terkait dengan produksi, saya memang tidak ikuti bagaimana performa  PHI sebelum saya terlibat menjadi komisaris. Akan tetapi yang saya  amati dalam dua tahun terakhir ini dengan tipikal lapangan yang cukup  mature PHI berjuang keras untuk fight decline. Dua tahun terakhir  decline yang terjadi jauh lebih kecil. Kami bisa tahan di angka 10%.

Itu sangat bagus karena kalau lapangan tua seperti sekarang natural  decline antara 30%-40%. Tantangan paling besar saat mengelola  lapangan mature dalam suatu reservoir migas kalau do nothing akan  decline secara natural. Kalau bisa menjaga level produksi existing itu 

 

Biodata

Adriansyah lahir di Palembang 62 tahun silam.  Meraih gelar Sarjana Tahun 1987, kemudian pada  tahun 1993, Adriansyah melanjutkan pendidikan  pascasarjana bidang Geofisika di Institut  Teknologi Bandung.

 

Dia berhasil mendapatkan gelar Ph.D.  Geosciences dari University of Texas, Dallas  pada tahun 2000. Dia memulai karir sebagai  Processing Geophysics di PT GECO Indonesia  tahun 1987.

 

Bergabung ke Pertamina sebagai Operations  Geophysicist tahun 1989-1990 di UEP I Pangkalan  Brandan, kemudian menjadi Sr. Specialist for New  Physical Methods tahun 2000-2009 di Upstream  Technology Center (UTC). Tahun 2009 dipercaya  menjadi Vice President UTC, kemudian menjadi  Senior Vice President Upstream Business  Development tahun 2011 - 2013.

 

Pada bulan April tahun 2013 diangkat menjadi  Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energi  (PGE), kemudian pada bulan Oktober 2013  menjadi Presiden Direktur PT Pertamina EP (PEP).

 

Adriansyah diangkat sebagai Direktur Utama PT  Pertamina EP Cepu (PEPC) pada tanggal 23 April  2015. Pengalaman di luar Pertamina pada tahun  2002-2004 terpilih menjadi Presiden Himpunan  Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Saat ini juga  mengajar mata kuliah Seismik Data Processing  di program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Serta aktif menjadi anggota HAGI, SEG, dan EAGE. Sesuai Keputusan Pemegang Saham secara  sirkuler tentang RUPS Pemberhentian dan  Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris tanggal  15 Februari 2021 Adriansyah diangkat menjadi  Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Indonesia.

 

sudah sangat luar biasa. Bagaimana menjaga  decline recover cadangan yang diproduksi  sehingga umur lapangan itu sudah bisa hitung.  Kalau cadangan lima kami produksi satu maka  umur lapangan lima tahun.

 

Yang harus dilakukan adalah menemukan  cadangan baru sehingga satu lapangan yang  sudah dieksploitasi ini selalu diganti. Ini yang  kalau menurut saya despite adanya reorganisasi.  Kalau ada reorganisasi masif biasanya produksi  akan turun. Nah, risiko kalau ada lapangan tua  seperti yang dimiliki PHI produksinya sudah turun  maka menaikkannya lagi setengah mati. Maka,  pada prinsipnya mampu menahan produksi turun  saja sudah bagus.

 

Kalau melihat kurva lapangan minyak pasti  naik turun kecuali ditemukan cadangan baru.

Dengan reorganisasi yang mengakibatkan adanya  keterbatasan orang, kemudian muncul pandemi  pada 2020, dilihat effort produksi dan decline  yang dicapai, kinerja PHI tidak terlalu jelek. Ini  suatu effort luar biasa. Para pekerja eks Total  melihat profil produksi PHI pasti juga kaget. “Kok  bisa seperti itu?”. Mestinya terjun bebas. Apalagi  kalau mereka awalnya mengangap jika dikelola  Pertamina tidak akan lebih baik dari Total. Saya  rasa pekerja PHI sudah melakukan effort yang  terbaik.

 

Saya juga melihat hasil yang dicapai walaupun  tidak sempurna tapi sudah sesuai dengan trek.  Apalagi ada discovery sumur-sumur eksplorasi  baru, penerapan konsep borderless yang  dibuat Pak Chalid. Kami katakan hal itu bisa  meremajakan lapangan migas yang dikelola  PHI. Konsep borderless itu membuat wawasan  tim eksplorasi seolah-olah lapangannya dibuka sehingga bisa bermain seperti yang mereka suka.

 

Tipikal pola pengelolaan lapangan mature adalah  masif investasi dan masif pekerjaan hanya untuk  menopang atau menahan decline produksi.

Memang kalau dilakukan pekerjaan masif itu  kendala-kendala logistik, kendala sosial atau  teknikal akan muncul karena rig harus bergerak  cepat. Pengeboran harus dipercepat. Targetnya  pengeboran 50 sumur setahun sehingga harus  melakukan inovasi. Saat pertama masuk PHI,  saya melihat beberapa pimpinan seperti Pak  Agus (Agus Amperianto pernah menjabat

GM PHM, red) menunjukkan inovasi di Blok  Mahakam dengan Elnusa saat menerapkan  Hydrolic Workover Unit (HWU). Jadi, mereka bisa  melakukan workover sangat cepat di daerah  swamp. Inovasi itu kelihatannya simple tapi  sangat efektif. Inovasi begini yang harus kita  lakukan supaya pekerjaan sesuai dengan target  dan itu harus bisa direplikasi.

 

Inovasi dalam pengelolaan lapangan seperti ini  sesuatu yang dibutuhkan bukan suatu pekerjaan  sampingan atau gaya-gayaan. Inovasi harus di  depan menjadi ujung tombak. Saya berharap  pekerja PHI selalu harus terbuka membuat ide  baru. Dari kunjungan saya beberapa kali ke  Mahakam dan berdiskusi dengan para pekerja  saya melihat energi positif untuk melakukan  inovasi. Barang kali saat bekerja dengan Total PHI sekarang menjadi  bagian dari Subholding  Upstream yang mengelola  Regional 3 Kalimantan  dengan beberapa anak  perusahaan. Idenya biar  Perusahaan bisa lebih  mandiri dalam menjalankan  operasional teknis Hulu  Migas. PHI juga diharapkan  lebih simple dan cepat  dalam proses pengambilan  keputusan bisnis.

Simplifikasi organisasi  seperti itu memang harus  dilakukan.

 

dulu kreativitasnya tidak 100% dikeluarkan. Saya  dan Pak Chalid membuat untuk kawan-kawan  mengaktualisasikan kreasinya 110%. Dalam suatu perusahaan minyak, aktivitas  eksplorasi merupakan pembuka jalan untuk  pengelolaan masa depan aset yang dimiliki.  Ada dua eksplorasi. Misalnya ada far away  exploration, ada wild cat exploration. Far away  itu biasanya eksplorasi yang terletak antara dua  reservoir konsepnya sama, exploration play-nya

sama. Jadi, seperti skenario Wild cat ini bukannya  harus keluar tapi konsep berpikir play-nya beda.  Jadi, kalau dulu deposit di lapisan A masuk dari  sini akan tetapi create skenario baru bagaimana  lapisan B setelah dilakukan studi dan evaluasi  dapat ditentukan bisa dibor atau tidak. Itu  seninya. Saya melihat eksplorasi masih banyak  berkutat di area East Kalimantan seperti PHM,  PHKT. Memang ada beberapa play yang diubah  sedikit-sedikit sehingga dilakukan eksplorasi dan  mendapatkan cadangan. Ada yang benar-benar  wild cat yang gagal tapi ada indikasi hidrokarbon.  PHI harus berani. Saya rasa itu hal yang membuat  semua pihak belajar. Akhir-akhir ini, kami  challenge tim eksplorasi untuk menentukan apa  yang bisa dilakukan untuk open area yang belum  dieksplorasi.

 

Ada memang temuan seperti Nunukan belum  bisa di-develop. Kemudian ada full eksplorasi  seperti di Ambalat. Mereka treat-nya sama,  tapi ada prioritas untuk eksplorasi. PHSS  dan PHKT mereka setelah dapat insentif ada

komitmen pengeboran sumur eksplorasi yang  harus dilakukan. Ada hal-hal mereka istilahnya  melakukan insight of contract tapi bukan  berarti asal bor. Saya melihatnya ada discovery  dari sumur eksplorasi Manpatu-1X (MPT-1X)  pada awal 2022 dengan memanfaatkan energi  positif kawan-kawan PHM. Sudah dijanjikan dalam empat tahun sumur Manpatu sudah bisa  produksi. Tim eksplorasi patut diberikan apresiasi. 

 

Saya rasa insentif untuk aset atau WK, termasuk  juga untuk eksplorasi. Akan tetapi karena ini gross  split mungkin agak beda ceritanya. Pekerjaan  risiko paling besar itu eksplorasi. Dalam sistem  gross split risiko ditanggung perusahaan  sehingga pertimbangan kebijakannya dari sisi  prioritas akan berbeda. Contoh kalau punya  sumur eksplorasi dengan risiko sama di area  PHM dan PHSS barang kali secara keekonomian  dan risiko bagus memilih PHM karena kontraknya  cost recovery sementara PHSS menggunakan  gross split.

 

Aktivitas sharing data eksplorasi menjadi inti  kekuatan tim subsurface. Apabila memiliki data  atau melihat data lebih banyak akan semakin  banyak dapatkan informasi sehingga membuat  link lebih logis. Misalnya, explorationist Sumatera  bukan berarti tidak perlu mengetahui data di  Jawa atau Kalimantan karena prinsipnya analog  atau sama. Dari sisi bisnis semakin banyak data  yang di-share semakin baik. Seharusnya di SKK  Migas ada semacam status lokasi eksplorasi atau  sumurnya. Saya setuju dengan ide data sharing  selama data itu merupakan data teknis yang  sifatnya saling bisa bertukar informasi positif.

Akan tetapi dari sisi bisnis saat dilakukan data  sharing harus dipilah terlebih dahulu.

 

Dalam forum-forum seperti pertemuan Indonesia  Petroleum Association (IPA) melakukan diskusi  dan menggambarkan kondisi geologi itu bentuk  sharing. Kalau memang misalnya SKK Migas  punya ide seperti itu, menurut saya SKK Migas  bisa mengelola informasi yang didapatkan IPA  menjadi semacam panduan eksplorasi Indonesia  atau bank data. Tapi, kalau misalnya satu calon  investor datang tanpa komitmen sharing data,  menurut saya tidak umum dilakukan. Minimal  bisa membatasi diri antara kepentingan bisnis  dan teknis.

 

Untuk pengelolaan aset di Kalimantan, saya  pikir tantangan utamanya masalah klasik yakni

bagaimana PHI bisa mengelola lapangan sebaik-  baiknya. Istilahnya ekstrak migas dari reservoir  semaksimal mungkin. Tantangan kedua PHI tetap  akan menjadi model untuk memadukan teknologi  dan kultur yang berbeda sehingga membuat  warna PHI sendiri. Menurut saya perusahaan  diwarisi aset-aset sangat baik. Tantangannya  bagaimana mengelola tiga aset besar dengan  kultur beda untuk menjadi suatu sistem sinergi.  PHI harus lebih produktif, punya bekal lebih baik,  baru setelah itu berbicara bagaimana pengelolaan  aset tersebut ke depan. Reorganisasi harus lewati  dengan baik sehingga tidak ada celah-celah yang  bisa membuat pertumbuhan terlambat. Banyak  hal yang harus dikerjakan perusahaan untuk  mengelola lapangan yang sudah mature.

 

Tantangan ketiga putuskan dulu kebijakan  perusahaan untuk extend atau menambah  produksi migas. Apabila mau meningkatkan  produksi tidak bisa dengan memanfaatkan  lapangan yang ada sekarang. Jalan satu-satunya  membuka lapangan baru. Dengan konsep sekarang, borderless, kegiatan joint study WK  migas sangat terbuka. Menurut saya peluang PHI  masih besar terutama untuk area Kalimantan.

Saya melihat future perusahaan masih sangat  baik dan sangat menantang. Namun, kembali  lagi yang penting bagaimana view perusahaan  terhadap aset. Aset seharusnya dilihat bukan suatu yang statis tapi dinamis. Reservoir kadang-  kadang hanya beda konsep dan beda kedalaman  bisa menemukan suatu hal baru. Hal seperti itu kembali kepada kreativitas inovasi dengan  challenge besar akan membuka ruang kreativitas  yang lebar. Kreativitas dalam inovasi adalah  keharusan bukan ekstra energi.

 

Pesan Bagi Perwira PHI

 

Para perwira PHI harus terus bersemangat.  Pertama, dalam masa pendewasaan organisasi  pasti akan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai.  Lakukan fine tuning. Menerima umpan balik  atau feedback dari karyawan bagaimana bisa  melakukan operasi dan bisnis dengan lebih baik  itu yang perlu mereka sadari. Kedua, perusahaan  butuh kreativitas dan inovasi. Masa depan  industri migas masih sangat panjang untuk para pekerja muda. Saat town hall meeting ada  pertanyaan kalau minyak habis kita kemana?  Saya bilang minyak bisa habis tapi skill yang Anda  miliki melekat pada diri sendiri. Skill itu barangkali  menjadi modal sebagai pekerja. PHI punya  lapangan yang kompleks sehingga merupakan  kesempatan bagi karyawan untuk membangan  skill jauh lebih baik.

 

Saya harus mengatakan keuntungan paling  besar saat bekerja di PHI adalah skill dan  experience. Jadi, selama fokus pada itu akan  muncul kretivitas dan inovasi. Setiap karyawan  harus menyadari kewajibannya dalam posisi  masing-masing dalam aspek lebih besar. Dalam  sistem perusahaan ada ratusan ribu moving part.  Biar jalan semua harus sesuai fungsi masing-  masing. Kalau masing-masing dari karyawan  hanya melakukan tugas sendiri tanpa menyadari  konsekuensi kualitas pekerjaannya terhadap  internal akan menjadi masalah. Pekerja pelan-  pelan harus mengerti gambaran lebih besarnya  sehingga memahami tujuan dia bekerja untuk  apa. Kadang-kadang pekerja terlalu fokus kepada  pekerjaan masing-masing. Dalam konteks ini  perlu ada cross cultural communications.

 

PHI tahun lalu dapat 5 penghargaan PROPER  Emas. Pencapaian itu merupakan perwujudan  komitmen dari Persero hingga BoD-BoC di bawahnya dalam menjalankan program  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).  Tetapi, pelaksanaan atau eksekusi dalam  subholding akan tergantung bagaimana bentuk  leadership dan iklim perusahaan. Saya rasa  kuncinya bagaimana perusahaan meng-create  iklim yang sehat, kompetitif dan transparan.

 

Salah satu yang saya suka dalam aspek  transparansi dalam pengambilan kebijakan. Kalau  saya perhatikan, Pak Chalid selalu diskusikannya  dengan level di bawah sehingga kebijakan itu  mengakar. Jadi, seolah-olah kebijakan tersebut  bukan top down tapi bottom up. Kewajiban yang luar biasa bagaimana menyatukan tiga  perusahaan.

 

Saya tidak mau anak perusahaan PHI jalan  masing-masing. PHM, PHSS, PHKT hanya lapor  ke Pak Chalid dan seterusnya. Saya berharap PHI  punya satu warna. Bersinergi lebih besar lebih  baik. Kadang-kadang mengelola aset upstream  perlu sentuhan agak berbeda. Pekerja di lapangan  harus bekerja 70% dengan hati karena kadang-  kadang pekerjaannya tidak ada yang bisa  mengontrol. Kualitas pekerjaannya bergantung  dirinya sendiri. Dia bisa aja asal-asalan dan tidak  ada yang tahu. Pimpinan harus dapat memotivasi  dengan baik dengan melakukan sentuhan  kemanusiaan. Bekerja di Pertamina harus  nyaman. Aset yang paling besar adalah SDM  sehingga harus dijaga dengan benar. Saat SDM  sudah bagus produksi akan dengan sendirinya  meningkat.

 

Pada era transisi energi, para pekerja PHI harus  terus membangun skill-nya. Mereka wajib  berprinsip tidak pernah berhenti belajar di setiap  kesempatan. Pengalaman harus diekstraksi. Selain itu, pekerja tidak menutup diri dari informasi yang  terkait dengan diversifikasi energi. Pertamina  memiliki PT Pertamina Geothermal Energy (PGE)  yang merupakan industri masa depan. Saya  melihat skill yang dibutuhkan di sana mirip dengan  keahlian di hulu migas. Saya pernah menjadi Dirut  PGE selama satu semester. Saya bilang jika punya  skill di hulu migas bisa dipakai di sana. Ini cara  perusahaan membangun pemahaman karyawan  bahwa yang dikelola adalah perusahaan energi  bukan oil and gas company.

 

Fenomena ini perlu diketahui supaya punya  modal kira-kira ke depan mau seperti apa. Ini  menyangkut kebijakan energi negara. Diversifikasi  energi ini konsep jangka panjang Indonesia  sehingga dinamikanya harus dimengerti.

Karyawan tidak boleh membatasi persepsi saya  tukang cari minyak tetapi tukang ekstraksi energi.  Saat di PHM, saya berjalan ke area waste energy  dimana sampah dikelola hingga menghasilkan  gas metana untuk bahan bakar kompor yang  digunakan masyarakat di sana. Ini suatu contoh  program CSR yang menurut saya sangat punya  message besar arah diversifikasi energi.

 

Dalam menjalankan program CSR ini, karyawan PHM menerapkan ilmu pengetahuan  dan teknologi pipa yang dikuasainya menjadi  “piping miniature” yang kompatibel di  lapangan. Hal-hal seperti itu perlu pelan-pelan dibangkitkan sehingga para pekerja  bisa mengerti generasi 10 tahun ke depan mungkin tidak akan terkait lagi dengan oil and  gas. Sumber daya migas tidak tergantikan dan  jumlahnya terbatas sehingga suatu saat akan  habis. 

 

Mau tidak mau dunia akan bergerak. Saya rasa  Indonesia cukup beruntung karena pemerintah  getol mendorong penggunaan EBT. Contohnya  pada acara G20 beberapa waktu lalu dengan  memanfaatkan mobil listrik. Walaupun ini  skalanya masih kecil tapi itu menunjukkan  indikasi arahnya menuju sana. Pertamina pelan-  pelan harus mengubah mindset bergerak ke sana  baik secara global, nasional maupun perusahaan.  Dengan mendeteksi arah perubahan Pertamina  maka Perwira akan dapat mengatur skill apa  yang dibutuhkan dengan kondisi yang nanti akan  dihadapi.(*)

DOWNLOAD