Optimalkan Existing Reservoir Management

  January 03, 2023
Optimalkan Existing Reservoir Management

  January 03, 2023

Terkait inovasi, di dunia migas pengalaman kerja itu  sangat penting. Semakin banyak masalah itu akan  memancing memunculkan inovasi.

 


 

Di masa lalu, Pertamina Direkorat EP mempunyai bentuk kontrak  JOB Partnership atau Participating Interest (PI) dengan Production  Sharing Contract (PSC) lain di luar Pertamina EP sebagai PSC.

Regulasi pada saat itu menetapkan kalau sudah PSC tidak  boleh memegang lebih dari satu Wilayah Kerja (WK) migas. Ini  PSC-nya besar sekali tapi kalau ada daerah operasi di luar PSC  harus membuat kontrak baru. Makanya ada JOB dan lain-lain sehingga Pertamina mendirikan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang tujuannya untuk  mengoordinasikan -- seperti subholding -- mengelola JOB Tomori, PPEJ Petrochina,  Repsol, dan lain-lain. JOB, termasuk yang hanya berupa PI, semua di bawah PHE.

 

Pada 2015, saat saya menjabat direktur hulu Pertamina, ada blok-blok migas yang akan  expired. Antara lain Blok Mahakam milik Total Indonesie atau WK migas yang dikelola  VICO yang sekarang dimiliki PHSS. Kami awalnya berpikir aset-aset seperti Mahakam  akan digabungkan sekaligus ke PHE. Setelah dipertimbangkan, Mahakam asetnya cukup  besar sehingga pengelolaannya perlu fokus. Apalagi, sebetulnya ini menjadi pertaruhan  besar bagi Pertamina apakah mampu perform atau setidaknya mendekati kinerja Total  saat mengelola Blok Mahakam nanti?

 

Jika menempatkan Blok Mahakam di PHE akan terlalu berisiko. Asetnya terlalu besar  dibanding PHE. Maka, Pertamina mendirikan PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) yang  tujuannya mengelola seluruh blok-blok migas di Kalimantan Timur, salah satunya  Mahakam. Kemudian baru menyusul PHKT dan PHSS. Itulah sejarahnya kenapa  Pertamina mendirikan PHI pada 28 Desember 2015. Padahal, Blok Mahakam baru expired  pada Januari 2018. Tapi, pada waktu itu Pertamina menyadari bahwa transisi Blok  Mahakam tidak mudah. Apalagi lapangannya sudah mature dan operasinya complicated.  Ini akan menjadi pengalaman baru bagi Pertamina. Maka, waktu itu disepakati proses  pengambilalihan Blok Mahakam dimulai pada 2015 walaupun kontrak baru selesai 2018.

 

Pada 31 Desember 2015, Mahakam PSC belum ada gross split saat Menteri ESDM dijabat  Pak Sudirman Said. Kontrak PSC antara PHI dan pemerintah terbentuklah Pertamina Hulu  Mahakam (PHM). PHI menandatangani alih kelola Blok Mahakam pada 2015 walaupun  baru beroperasi 2018. Pemerintah sangat mendukung makanya kontrak sudah berjalan  Desember 2015 dan sudah efektif dalam pengertian biaya-biaya proses transisi sudah  menjadi subyek untuk di-cost recovery. Jadi, kira-kira awalnya PHI itu dibuat untuk  menyiapkan blok-blok terminasi di Kalimantan Timur, yakni Mahakam, PHKT dan PHSS.

 

Sejak 2015, PHM banyak berdiskusi dan berinteraksi dengan Total untuk mempersiapkan  berbagai hal termasuk operasional dan bentuk organisasi. PHM menawarkan peluang  kepada para pekerja di Total yang mau bergabung dengan PHM. Hampir semua karyawan  akhirnya memilih hijrah ke PHM. Hal itu memudahkan PHM menjaga keberlangsungan  operasional Blok Mahakam sehingga tidak terlalu banyak hambatan. Jadi, sebenarnya  orang yang sama tetap di organisasi sama namun yang berubah hanya kepemilikan dari  Total ke Pertamina.

 

Periode 2015-2018 itu disebut sebagai masa transisi. Pada 2017, ada kesepakatan  antara PHM dan Total untuk melakukan drilling yang biayanya dari Pertamina tetapi  lokasi pengeboran dan eksekusi dilakukan Total. Proses itu berjalan mulus sehingga  pada 2018 sumur-sumur itu langsung dieksekusi. Jadi, tidak ada delay produksi. Bisa dibayangkan jika saat kontrak berakhir  pada 2018 Pertamina baru memikirkan  mau ngapain, pasti produksi Blok Mahakam  akan sangat drop. PHM beruntung karena  waktu itu untungnya pekerja dari Total  sangat welcome. Kami mulai memasukkan  program pada 2017 sehingga meskipun  produksi ada decline tidak langsung tajam.

 

Desain Awal

 

Desain awal organisasi PHI pada dasarnya  sama dengan PHE, semacam subholding  yang membawahi beberapa anak  perusahaan. PHI menaungi PHM, PHKT  dan PHSS. Kontrak PHM itu masih cost  recovery. Kemudian Pak Ignasius Jonan  dan Pak Arcandra Thahar saat memimpin  Kementerian ESDM mempunyai ide untuk  menerapkan model kontrak gross split  maka PHKT dan PHSS skemanya sudah  gross split. Jadi, PHI mengelola tiga aset  yang terdiri dari satu PSC cost recovery dan  dua lainnya gross split.

 

Dahulu, mekanisme di Pertamina ada  dua tahap. Pertama, Rencana Kerja  dan Anggaran Perusahaan (RKAP)  yang diputuskan internal dikirimkan ke Kementerian BUMN. Anggaran diusulkan  di internal. Lalu, karena sebagai PSC ada pembahasan dengan SKK Migas,  mekanisme penentuan program kerja,  target dan lain-lain dituangkan dalam  Rencana Jangka Panjang Perusahaan  (RJPP) sebagai big picture. Kemudian,  setiap tahun masing-masing aset anak  perusahaan membuat program kerja  yang sesuai dengan RJPP. Seperti GBHN  di zaman dulu. Semua program tahunan  harus inline dengan RJPP. Kalau PHM  mekanismenya PSC biasa menggunakan  Work, Program, and Budget (WP&B). Tapi  kalau gross split hanya membuat WP&B  secara global saja. Budget semuanya  masing-masing perusahaan.

 

Apabila bicara skala prioritas, aset Blok  Mahakam itu sudah sangat mature. Aset  itu sudah dieksploitasi 50 tahun lebih.

Pertamina mempunyai PoD berdasarkan  kaidah teknikal yang memperhatikan agar  reservoir tidak rusak dan recovery lebih  besar. Lapangan ini selain reservoirnya  tipis, banyak diproduksi, juga sudah lama  sehingga menjadi concern bagaimana  menjaga biar produksi itu tidak drop

 

Saat alih kelola, solusinya waktu itu harus  melakukan drilling secepat mungkin  dengan target reservoir yang belum  banyak diproduksi atau bahkan masih  perawan. Pada 2017, Pertamina kembali  merekrut banyak pekerja untuk subsurface,  melakukan mapping puluhan sumur.

Pertaruhan Pertamina di mata publik adalah  jangan sampai Pertamina tidak mampu  mencapai produksi seperti saat Mahakam  dioperasikan Total. Itu seolah-seolah hal  yang mudah. Padahal secara teknikal sangat sulit.

 

Publik seakan tidak menghiraukan bahwa  decline itu sesuatu yang tidak mungkin bisa  dihindari. Itu menjadi tantangan utama PHI.  Menjaga agar itu tidak terjadi decline terlalu  tajam dan memperbaiki berbagai fasilitas.  Makanya waktu itu tim surface facilities  sangat kreatif karena banyak lapangan yang  pressure-nya berbeda. Kadang-kadang ada  suatu lapangan yang tidak masuk karena  ada perbedaan pressure. Total cukup  membantu sehingga walaupun produksi  turun tidak sedrastis yang dikhawatirkan.

 

Kalau PHKT dan PHSS itu sedikit berbeda.  PHKT masih ada oil dan mostly offshore.  Saya melihat di PHKT masih ada peluang-  peluang untuk mendapatkan cadangan  minyak baru di dalam blok. PHSS juga  termasuk mature tetapi ada peluang karena  waktu PHSS dikelola VICO beberapa daerah  dioperasikan Pertamina EP. PHSS di bawah  Pertamina EP waktu itu kontrak ada batas  wilayah kerja kedalaman. Saat dikelola  Pertamina jadi lebih efisien.

 

Jujur kami memahami ketiganya  sudah sangat tua dan reservoirnya  juga menantang. Banyak sekali lapisan produksinya dan semakin banyak semakin  ruwet karena tipis-tipis. Kemudian,  hamparan lapangannya tidak bersambung.  Itu yang menjadi challenge bagian  subsurface, Tapi di permukaan karena  lapangannya banyak, maka bagian surface  facilities mendapatkan challenge lain. Tanpa  melupakan masalah safety operasional di  tiga lapangan memang complicated.

 

Pengelolaan SDM

 

Setelah PHI menjadi Regional 3 Kalimatan,  secara detail saya tidak mengikuti. Tapi,  kalau berbincang dengan Pak Chalid (Dirut  PHI, red), Pak Anca (Komisaris Utama PHI,  red), mereka menyampaikan sejauh ini  performanya cukup bagus. Artinya, mereka  sharing saja. Mereka bilang semuanya  jalan. Memang ada beberapa masalah,  barangkali secara operasional, terutama  SDM, namun itu pelan-pelan mereda. Tapi,  dilihat dari situasi sekarang lebih ke arah  aspek keuangan. Jadi, secara keuangan  mestinya tidak ada masalah.

 

Selain soal lapangan, tantangan  pengelolaan SDM juga tidak bisa  dimungkiri. Jangankan bicara company,  alumni universitas saja masih ruwet di satu  perusahaan. Almamater suka bersaing. Itu  kami sadari sebagai culture. Total, Chevron  dan VICO memiliki kultur beda-beda.

Mereka mempunyai Standard Operating  Procedure (SOP) tersendiri. Maka, waktu  mengoperasikan Blok Makaham, khususnya  saya harus melakukan beberapa kali  townhall meeting. Saya sampaikan tidak  mungkin tiba-tiba mengubah cara kerja,  mengubah SDM dalam waktu singkat. 

 

Tidak mungkin. Pertamina mempunyai SOP dan  kami mencoba match mana yang bagus. Kami  maintain secara sistem. Bagian mana yang perlu  improve kemudian dilakukan perbaikan.

 

Untuk masalah budaya kerja saya  menyampaikan bahwa saat mereka sudah  masuk menjadi aset Pertamina, mereka sudah  menjadi keluarga Pertamina meskipun baru  keluar dari Total. Tapi, apapun ceritanya mereka  sudah dalam sistem Pertamina. Pelan-pelan  saya sampaikan untuk sementara Mahakam  tetap dikelola GM dari Total. Pekerja Total cukup  mumpuni. Pada sisi lain, Pertamina asetnya  besar. Banyak pekerja PHE yang dipindahkan ke  aset-aset lain. SDM Pertamina pelan-pelan kami  masukkan ke PHM.

 

Proses itu yang kami harapkan mempercepat  sinergi. Hasilnya lebih bagus walaupun itu tidak  mudah. Saya tidak tahu sejauh mana proses itu  berjalan tapi saya melihat ada Dirut Pertamina  Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP)  berasal dari Total dan peluang pekerja yang baru  masuk sangat tinggi. Bahkan, sudah sangat  banyak eks ONWJ berada di PEP dan lain-lain.  Tetapi, manajemen perlu menjaga masalah  penempatan SDM ini jangan sampai ada rasa  cemburu atau tidak nyaman. Ini PR manajemen  sekarang.

 

Saya berharap Perwira Pertamina di PHI tentu  harus lebih bagus. Sebetulnya ada tantangan  dari zaman saya sudah teridentifikasi adanya  gap antara SDM experience dan yang baru. Besar  kesenjangannya. Apalagi, ditambah masuknya

aset-aset yang dulu dikelola perusahaan berbeda.  Ini jadi PR tersendiri. Kami dahulu sudah mulai  mencoba memberikan kesempatan kepada anak-  anak muda menjadi manajer. 

 

Kami melihatnya industri migas tidak terlalu  beda dengan di tentara atau kepolisian. Artinya  pengalaman kerja itu menjadi suatu yang sangat  penting. Pekerja yang baru lulus, mendapatkan  teori lapangan dan selanjutnya praktik  menghadapi masalah aktual itu akan sangat  penting agar dia bisa memiliki pengalaman  mengelola perusahaan dan mendapatkan  tanggung jawab lebih besar.

 

Kalau misalnya dari Kapolres tiba-tiba menjadi  Kapolda lompatnya jauh. Kalau dari Kapolda  menjadi Kapolri bisa saja. Tapi, menurut saya  dalam industri migas perlu experience. Bukan  berarti anak muda tidak bisa. Saya bilang pekerja  dengan masa kerja 10 tahun kalau menghadapi  berbagai tantangan seolah-olah sudah bekerja  15 tahun. Tapi ada juga masa kerja 20 tahun,  tapi karena tidak banyak menyelesaikan  masalah, kemampuannya seperti baru kerja 5  tahun.

 

Hal itu bisa dilihat di track record. Dulu kami  mencoba mempercepat anak-anak muda  berdasarkan track record. Sekarang kalau tidak  salah ada Internal Job Posting (IJP). Peluang  karier untuk naik jabatan dilelang. Mekanisme  yang dipakai sekarang itu. Saya melihat apapun  kondisinya pekerja harus bisa mengikuti sistem yang ada. Jadi, harus tetap ada adjusment, dan  harus siap beradaptasi. Dari dulu saya belajar  tidak terlalu banyak mengeluh. Harus bisa  beradaptasi dengan situasi apapun karena sejak  saya masuk Pertamina pada 1989 sering terjadi  perubahan luar biasa.

 

Mungkin sekarang dengan reorganisasi  tantangan makin banyak yang masuk dari blok  terminasi. Ya sudah kompetisi saja. Lakukan yang  terbaik. Saya kira karyawan Pertamina mampu.

Hanya yang saya dengar pekerja yang dari eks  PSC berani menyampaikan ide dengan clear. Nah,  pekerja Pertamina dengan sistem IJP sekarang  kadang-kadang sering kalah karena sering malu-malu. Kultur perusahaannya memang  berbeda. Dengan IJP sekarang ini dinilai dari ide  yang disampaikan. Jadi, SDM Pertamina harus  bisa menyesuaikan diri, harus belajar harus bisa  sehingga bisa masuk ke dalam manajemen  sekarang.

 

Satu lagi, karena kalau saya masih sangat ingin  dan berharap Pertamina makin eksis karena  energi fosil, walaupun heboh EBT, ini tidak akan pernah bisa tergantikan. EBT itu ujungnya  untuk power. Energi listrik. Untuk urusan mobil,  EBT itu cuma untuk baterainya saja. Tapi bodi  mobil, ban, tempat duduk, dashboard, kaca,  semua dari migas dan petrokimia. Kalau saya  lihat bagaimanapun juga Indonesia, khususnya  Pertamina, harus memperkuat energi fosil.

Jangan sampai terus kedodoran. Saat ini,  produksi migas makin drop. Paling tidak kawan-  kawan Pertamina punya sense energi fosil tidak akan tergantikan. Pertamina di situ. Ada PHI  juga. Tugasnya adalah bagaimana membuat

perusahaan ini bisa sustain. Pokoknya harus fight terus.

 

Peningkatan Produksi dan Inovasi

 

Untuk PHI kalau bicara peningkatan produksi cara  satu-satunya adalah cadangan harus bertambah.  Kalau tidak mendapatkan tambahan cadangan,  tidak mungkin bisa meningkatkan produksi.

Bagaimana mendapatkan cadangan? Pertama,  eksplorasi menemukan cadangan baru. Kedua,  mengoptimalkan lapangan-lapangan produksi.  Kesempatan-kesempatan mendapatkan layer-  layer baru di dalam WK yang sudah berproduksi  maupun dengan optimasi produksi, meningkatkan  recovery factor.

Saya melihat yang bisa dilakukan oleh PHI adalah  optimasi produksi. Produksi tidak sembarangan,  reservoir management harus benar, sehingga  minyak yang sudah diambil bisa optimal.

 

Terkait inovasi, di dunia migas pengalaman kerja  itu sangat penting. Semakin banyak masalah itu akan memancing memunculkan inovasi.  Secara teori tidak masuk, jadi inovasi muncul  karena ada masalah di lapangan. Seperti itu  yang selalu kami harapkan. Bagus kalau di PHI  terus dikembangkan dan yang paling penting  dipraktikkan. Kalau sudah ada inovasi yang  muncul karena ada masalah, baik itu subsurface  facility atau masalah sistem, itu harus diteruskan  lebih intensif.(*)

 

Biodata

Syamsu Alam tahun 2022 ini menginjak  usia 59 tahun. Beliau menyelesaikan  pendidikan Sarjana Geologi dari Institut  Teknologi Bandung tahun 1988.

Kemudian melanjutkan Master of  Science, Geofisika dari Institut Teknologi  Bandung tahun 1994 dan mendapatkan  gelar Doktor Geofisika dari Texas A&M  University pada tahun 2001.

 

Syamsu Alam bergabung dengan  Pertamina sebagai Spesialis Direktorat  Eksplorasi Produksi di tahun 1989.

Ia lalu ditunjuk sebagai Manager  Eksplorasi Daerah Operasi Hulu (DOH)  Sumatera bagian Selatan di Pertamina  dari tahun 2005 hingga tahun 2006. Dia  kemudian ditetapkan menjadi Manager  Regional & Cekungan di Pertamina  tahun 2006-2007. Karirnya terus  menanjak sampai ditetapkan menjadi  General Manager JOB Pertamina-Medco  Tomori (2007-2008).

 

Syamsu Alam kemudian masuk ke  dalam jajaran direksi anak perusahaan  Pertamina. Dia ditunjuk untuk mengisi posisi Direktur Eksplorasi  & Pengembangan di PT Pertamina  EP antara tahun 2008-2011. Karir Syamsu Alam terus merangkak naik.  Dia ditunjuk untuk menjadi Direktur  Utama di PT Pertamina EP mulai dari  tahun 2011-2013. Kemudian sempat  menjadi SVP Exploration Direktorat Hulu  di PT Pertamina (Persero) pada tahun  2013 - 2014, sebelum akhirnya menjadi  Direktur Hulu PT Pertamina (Persero)  pada tahun 2014 - 2018). Syamsu Alam  jua dikenal sebagai Ketua Ikatan Alumni  Geologi ITB 2010-2019.

17

DOWNLOAD